KEDUDUKAN HUKUM ISLAM
DALAM TATA HUKUM REPUBLIK INDONESIA[1]
Oleh: Prof. Dr. H. Asasriwarni, M.H.[2]
Hukum Islam
berkembang sejalan dengan perkembangan dan perluasan wilayah, begitu pula di
Indonesia. Di negeri ini, mempelajari sejarah hukum (legal historis)
Islam sangat erat kaitannya dengan periodisasi sejarah Indonesia secara umum.
Khususnya selama masa keberadaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia. Pada masa
Hindia Belanda, kedudukan Hukum Islam dapat dibagi dalam 2 periode: (1) Periode
penerimaan Hukum Islam sepenuhnya, dan (2) Periode penerimaan Hukum Islam oleh
Hukum Adat.[3]
|
Pendapat Snouck Hurgronje diberi dasar hukumnya dalam Undang-undang Dasar
Hindia Belanda yang menjadi pengganti Regeerings
Reglement (RR), yang disebut Wet of de Staatsinrichting van Nederlands
Indie, disingkat Indeische Staatregeling (IS). Dalam IS yang
diundangkan dalam Staatsblad Nomor 212 Tahun 1929, Hukum Islam dicabut dari
lingkungan tata Hukum Hindia Belanda. Pasal 134 ayat 2 IS Tahun 1929 itu
berbunyi, “dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam, akan
diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila Hukum Adat mereka menghendakinya
dan sejauh mana itu tidak ditentukan lain dengan sesuatu ordonansi.”[6]
Pada pertengahan tahun 1937, Pemerintah Hindia Belanda mengumumkan
pemindahan wewenang mengatur waris dari Pengadilan Agama kepada Pengadilan
Negeri. Apa yang menjadi kompetensi Pengadilan Agama sejak tahun 1882 hendak
dialihkan kepada Pengadilan Negeri. Dengan Staatsblad 1937 Nomor 116, wewenang
Pengadilan Agama itu dicabut, dengan alasan Hukum Waris Islam belum sepenuhnya
diterima oleh Hukum Adat.[7] Reaksi pihak Islam terhadap campur
tangan Belanda dalam masalah-masalah Hukum Islam ini banyak menjauhkan umat
Islam dari ketentuan-ketentuan agamanya adalah taktik Belanda untuk meneguhkan
kekuasaannya di Indonesia. Oleh karena itu, tatkala kesempatan untuk
memberlakukan Hukum Islam kembali terbuka (dengan terbentuknya Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan pada zaman penjajahan Jepang dan dilangsungkannya
sidang-sidang mereka), maka para pemimpin Islam memperjuangkan hukum Islam
tanpa menghubungkan dengan Hukum Adat. Sedangkan menurut Ismail Suny, Hukum
Islam di Indonesia dibagi ke dalam dua periode, yaitu (1) Periode penerimaan
Hukum Islam sebagai Sumber Persuasif (2)
Periode penerimaan Hukum Islam sebagai Sumber Otoritas.[8]
Dalam Hukum Konstitusi dikenal Persuasif Source dan Aouthoritative
Source. Persuasif Source adalah
sumber persuasif, sedang Aouthoritative
Source adalah sumber otoritatif yang mempunyai kekuatan (authority). Dengan Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan berlakunya Undang-undang Dasar 1945, walaupun
di dalamnya tidak dimuat 7 kata Piagam Jakarta, maka Theorie Receptie kehilangan
dasar hukumnya, sebab, dasar hukum Theorie Receptie tersebut adalah IS,
sedangkan dengan berlakunya Undang-undang Dasar 1945, IS tidak berlaku lagi.
Setelah berlakunya Undang-undang Dasar 1945, Hukum Islam berlaku bagi bangsa
Indonesia yang beragama Islam, karena kedudukan Hukum Islam itu sendiri, bukan
karena telah diterima oleh Hukum Adat.
Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 menetapkan, ”(1) Negara berdasarkan atas
Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.”
Selama 14 tahun sejak ditandatangani gentlement agreement antara
para pemimpin nasionalis sekuler dan nasionalis Islami pada tanggal 22 Juni
1945 sampai dengan saat diundangkannya Dekrit Presiden RI pada tanggal 5 Juli
1959, kedudukan ketentuan kewajiban menjalan Syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya adalah persuasif source. Sebagaimana halnya semua
hasil sidang Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
adalah persuasif source bagi grondwetinterpretative Undang-undang
Dasar 1945, maka Piagam Jakarta sebagai salah satu hasil sidang BPUPKI juga
merupakan persuasive source Undang-undang Dasar 1945. Barulah kemudian,
dengan ditempatkannya Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli
1959, maka Piagam Jakarta atau penerimaan Hukum Islam menjadi authoritative
source (sumber otoritatif) dalam Hukum Tata Negara Indonesia, bukan sekedar
persuasive source (sumber persuasif). Dalam konsiderans Dekrit Presiden
tersebut disebutkan, ”Kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni
1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian
kesatuan dalam konstitusi tersebut.”[9]
Menurut Hukum Tata Negara Indonesia, preambule (pembukaan), konsiderans,
bahkan penjelasan peraturan perundangan mempunyai kedudukan Hukum. Preambule
dan penjelasan Undang-undang Dasar adalah rangkaian kesatuan suatu konstitusi.
Begitu pula, konsiderans dan penjelasan peraturan perundangan adalah bagian
integral suatu peraturan perundangan. Dalam Penjelasan Pasal 3 Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1975 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Undang-undang Dasar
1945 dalam huruf a pasal ini meliputi pembukaan, batang tubuh dan
penjelasannya. Dengan demikian, maka preambule, Konsiderans, atau penjelasan
Undang-undang Dasar/Peraturan Perundangan mempunyai kekuatan hukum.[10]
Dekrit Presiden Republik Indonesia 5
Juli 1959, selain menetapkan Piagam Jakarta di dalam konsiderans, juga
menetapkan diktum “Menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi.” Dengan
demikian, dasar hukum Piagam Jakarta dalam konsiderans dan dasar hukum
Undang-undang Dasar 1945 dalam diktum (batang tubuh) ditetapkan dalam satu
peraturan perundangan yang dinamakan Dekrit Presiden. Keduanya menurut Hukum
Tata Negara Indonesia, mempunyai kedudukan hukum yang sama. Presiden Republik
Indonesia bukan hanya Ir. Soekarno secara pribadi, berkeyakinan bahwa Piagam
Jakarta menjiwai dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Undang-undang Dasar
1945. Perbedaan Piagam Jakarta dengan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 hanya
terletak pada adanya 7 kata (dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi
pemeluknya), maka itu berarti bahwa ketujuh perkataan itulah yang menjiwai
Undang-undang Dasar 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam
Undang-undang Dasar 1945.
Kata ”menjiwai” secara negatif berarti bahwa tidak boleh dibuat peraturan
perundangan dalam negara RI yang bertentangan dengan Syari’at Islam bagi
pemeluknya. Secara positif berarti bahwa para pemeluk Islam diwajibkan
menjalankan Syari’at Islam. Untuk itu, harus dibuat undang-undang yang akan
memperlakukan Hukum Islam dalam Hukum Nasional. Pendapat ini sesuai dengan
keterangan Perdana Menteri Juanda pada tahun 1959, yang mengatakan bahwa
pengakuan terhadap Piagam Jakarta pengaruhnya bukan saja terhadap Undang-undang
Dasar 1945, tetapi ia harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang
keagamaan.[11]
Politik hukum ini juga terlihat dalam Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960,
yang menyatakan bahwa penyempurnaan hukum perkawinan dan hukum waris hendaknya
memperhatikan faktor-faktor agama. Sampai dengan tanggal 27 Maret 1968, yaitu
saat Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tidak lagi berlaku, tidak satu pun
muncul undang-undang dalam bidang hukum perkawinan dan hukum waris, walaupun
Lembaga Pembinaan Hukum Nasional telah menyiapkan Rancangan Undang-undang (RUU)
Peraturan Pelengkap Pencatatan Perkawinan, RUU Hukum Perkawinan, dan RUU Hukum
Waris. Sebaliknya dalam bidang yurisprudensi, dengan keputusan-keputusan
Mahkamah Agung, sejak tahun 1959 diciptakan beberapa keputusan dalam bidang
Hukum Waris Nasional menurut sistem liberal.
Di sini terlihat bahwa bidang Hukum Waris Nasional yang liberal lebih mendekati
Hukum Islam daripada Hukum Adat.
Sementara itu, dalam pandangan Ichtijanto, teori berlakunya Hukum Islam di
Indonesia dibagi ke dalam enam:
1.
Teori ajaran Islam
tentang penaatan kepada hukum.
2.
Teori penerimaan otoritas
hukum.
3.
Theorie Receptio in
Complexu.
4.
Theorie Receptie.
5.
Theorie Receptie Exit.
Teori penaatan kepada
hukum bagi orang yang terkandung dalam sumber ajaran dan sumber hukum, yakni
al-Qur’an dan Sunnah. Teori penerimaan otoritas hukum adalah teori yang telah
dianut oleh semua imam mazhab. Hukum Islam menyatakan bahwa siapa pun yang
telah menyatakan dirinya sebagai seorang Muslim, dengan mengucapkan dua kalimah
syahadat, ia terikat untuk patuh dan taat kepada hukum dan ajaran Islam.
Sedangkan Theori Receptie in Complexu dan Theori Receptie telah dijelaskan di atas. Kematian Theori
Receptie diawali ketika lahirnya Undang-undang Dasar 1945 yang dipertegas
oleh Dekrit Presiden tahun 1959 dan terkubur dengan diundangkannya Undang-undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Undang-undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun
1989.
Theori Receptie
Exit diintroduksi oleh Hazairin. Teori ini
menyatakan bahwa Theori Receptie harus keluar dari teori Hukum Nasional
Indonesia karena bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila
serta bertentangan pula dengan al-Qur’an dan Sunnah. Teori ini kemudian
dikembangkan oleh Sayuti Thalib dengan Theorie Receptie a Contrario yang
menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat adalah hukum agamanya. Ini
berarti bahwa Hukum Adat hanya berlaku kalau tidak bertentangan dengan Hukum
Islam. Teori ini sejiwa dengan teori para pakar Hukum Islam (fuqaha)
tentang al-’urf, [13]
dan teori al-’adah.[14]
Sejalan dengan sejarah
Hukum Indonesia serta perkembangan enam teori berlakunya Hukum Islam di
Indonesia, unsur-unsur dalam sistem Hukum Pancasila terisi oleh unsur-unsur
Hukum Islam. Sistem Hukum Pancasila adalah seperangkat kaidah hukum dalam
berbagai lapangan hukum yang merupakan bagian atau unsur dari padanya.
Unsur-unsur itu bersumber pada Pancasila yang saling berkait satu sama lainnya
dan merupakan kepaduan hukum dalam suatu wawasan Nusantara wilayah negara
Republik Indonesia. Pancasila adalah filsafat yang unik, karena keunikan sila
pertamanya, Ketuhanan yang Maha Esa, merupakan kausa prima dari sila-sila
lainnya. Pancasila adalah suatu filsafat yang harus diamalkan sesuai dengan
amanat rakyat yang tertuang dalam TAP MPR Nomor II/MPR/1978. Amanat rakyat ini
dipertegas oleh GBHN melalui TAP MPR Nomor II/MPR/1983.
Berkaitan dengan
bidang agama, GBHN yang ditetapkan dalam melalui TAP MPR Nomor II/MPR/1983
menyatakan bahwa pengalaman agama dalam kehidupan pribadi dapat terlaksana
tanpa bantuan perundang-undangan. Namun, pengamalan agama dalam kehidupan
kemasyarakatan memerlukan proses masuknya ajaran atau hukum agama ke dalam
hukum bermasyarakat di dalam kerangka Hukum Nasional. Pernyataan GBHN
menguatkan pernyataan bahwa hukum agama, dalam hal ini Hukum Islam, merupakan
unsur Hukum Adat dan hukum lainnya yang tidak bertentangan dengan jiwa
Pancasila. Kenyataan menunjukkan berbagai peraturan perundang-undangan
menjadikan agama sebagai unsur ajaran dan etikanya, seperti yang terdapat dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 Jo Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954, yakni
Undang-undang NTCR; Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 jo Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1961, PP Nomor 29 Tahun 1957 yang diganti dan diperluas menjadi
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung, Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 15,14 (1),
49 (2), 49 (3), jo PP No 28 Tahun 77, Undang-undang Nomor 1 PNPS/1965;
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo PP Nomor 9 Tahun 1975.
Persoalannya sekarang
ialah bagaimana menjadikan Hukum Islam sebagai penunjang pembangunan dalam
kerangka sistem Hukum Pancasila. Walaupun dalam praktek tidak lagi berperan
secara penuh dan menyeluruh, Hukum Islam masih memiliki arti besar bagi
kehidupan para pemeluknya. Setidak-tidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan
Hukum Islam masih memiliki peran besar dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pertama, Hukum Islam telah turut serta
menciptakan tata nilai yang mengatur kehidupan umat Islam, minimal dengan
menetapkan apa yang harus dianggap baik dan buruk, apa yang menjadi perintah,
anjuran, perkenan, dan larangan agama. Kedua,
banyak keputusan hukum dan unsur yurisprudensial dari Hukum Isam telah diserap
menjadi bagian dari hukum positif yang berlaku.[15]
Ketiga, adanya golongan yang masih
memiliki aspirasi teokratis di kalangan umat Islam dari berbagai negeri
sehingga penerapan Hukum Islam secara penuh masih menjadi slogan perjuangan
yang masih mempunyai perhatian cukup besar.
Hukum Islam dewasa ini
masih belum dinamis dan masih dalam batas-batas mempertahankan identitas keislaman
dari pengaruh non Islam yang bersifat sekuler. Ungkapan para pemikir Islam
masih terbatas pada salah satu fungsi hukum, yakni nahi munkar dalam pengertian kontrol sosial. Belum memaksimalkan
fungsi amar ma’ruf (social enginering) yang menekankan anjuran
kebaikan dalam arti luas dan praktis. Oleh karena itu, terdapat kesan bahwa
Hukum Islam kehilangan relevansinya.
Upaya dinamisasi Hukum
Islam harus didasari oleh pemahaman ciri-ciri khusus dalam Hukum Islam. Ciri
utama yang pertama ialah keterlepasan Hukum Islam dari perspektif
kesejarahannya. Hukum Islam mempunyai sejarah yang disebut tarikh tasyri’, tetapi tidak menjadi bagian dari sebuah proses
sejarah umum. Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Islam tidak dapat dilaksanakan
sepenuhnya oleh pemerintah Islam, maka diambil jalan lain dengan menunda
pelaksanaannya serta menggantinya dengan peraturan yang bersifat tradisional.
Pakar Hukum Islam pun melegalisasikan dengan asas al-tadarruj fi al-tasyri’[16]
dan kaidah ma la yudrak kulluh la yutrak kulluh.[17]
Ciri utama yang kedua ialah keterikatan Hukum Islam yang sangat kuat terhadap
landasan penafsiran harfiah bangsa Arab, baik terhadap landasan penafsiran
harfiah bahasa Arab maupun terhadap al-Qur’an dan Hadis. Akibat keterikatan ini
terbentuk definisi-definisi dan ketetapan-ketetapan hukum yang terasa kaku
(umpamanya semua jenis pertaruhan dimasukkan ke dalam status hukum perjudian
karena kata al-maisir), Q.S. al-Maidah [5]: 90 tidak memiliki konotasi
di luar arti berjudi dan meniadakan kemungkinan pengembangan pola
dipersifikatif dan multidemensional bagi Hukum Islam.
Imam al-Syafi’i (w.
204 H/820 M) berhasil menyusun metodologi Hukum Islam yang disebut Ushul
al-Fiqh sebagaimana disajikannya dalam karya momumentalnya yang berjudul al-Risalah.
Namun, usaha al-Syafi’i itu belum menyelesaikan aspek metodologis secara tuntas
dan futuritis, karena masih terdapat ikatan-ikatan kepada konotasi bahasa yang
tertentu (literer). Usaha pembaharuan memang dapat menyelesaikan beberapa
persoalan, walaupun tertekan unsur sektarian karena peninjauan yang tidak
multidimensional.
Ciri utama ketiga
ialah ketiadaan otoritas tunggal yang mampu meratakan keputusan-keputusan
hukumnya di masyarakat. Walaupun telah ada pranata fatwa dengan segenap
kelengkapannya, keputusan hukumnya masih bercorak individual. Sebagai pendapat seorang faqih, sering berbeda dan senantiasa
merupakan alternatif. Dalam konteks ini dikenal istilah “perbedaan pendapat di
kalangan umat itu adalah rahmat bagi umat (ikthilaf
al-ummah rahmat).”
Berdasarkan ciri-ciri khas Hukum Islam dalam tinjauan sejarah tersebut,
maka pembinaan Hukum Islam di Indonesia harus diarahkan kepada upaya perumusan
prinsip-prinsip pengambilan keputusan hukum agama yang lebih mencerminkan
kebutuhan masyarakat. Untuk merealisasikan hal itu, diperlukan fungsionalisasi
efektif lembaga-lembaga yang ada serta upaya penyusunan metodologi hukum yang
sesuai dengan perkembangan Hukum Islam di Indonesia dalam rangka pembentukan
Hukum Islam ala Indonesia. Dalam rangka pelaksanaan Syari’at Islam dalam arti
al-Qur’an dan Sunnah, tidak perlu diperintahkan secara formal oleh
undang-undang, karena bagi setiap orang yang telah berikrar sebagai seorang
Muslim maka berlakulah kewajiban menjalankan syari’at yang diyakininya itu.
Dalam bagian-bagian kehidupan di bidang mu’amalah diperlukan pranata yang dapat
memelihara keterlibatan dan ketentraman serta kepastian hukum. Di sinilah letak
peran penting lembaga-lembaga Hukum Islam, baik yang telah diakui sebagai
pranata hukum menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun yang
diakui berdasarkan adat etika masyarakat Muslim.
Pengembangan lembaga-lembaga yang dapat berfungsi sebagaimana diharapkan di
atas mempunyai landasan pemikiran politik hukum yang kuat, terutama lembaga
Peradilan Agama dan yang berkaitan dengannya. Oleh karena itu, salah satu
bidang kehidupan yang jelas terjangkau Hukum Islam adalah bidang peradilan ini
dengan kompetensinya yang jelas menurut peraturan perundang-undangan yang telah
berlaku. Walaupun kedudukan, status, dan kewenangan Pengadilan Agama telah
jelas aturan hukumnya, masalah yang timbul di lingkungan lembaga ini masih
tetap ada. Masalah tersebut meliputi pelaksanaan peraturan perundang-undangan
dan inheren dalam Hukum Islam itu sendiri serta pandangan para sarjana
hukum terhadapnya. Daud Ali mendefinisikan beberapa masalah tersebut, antara
lain sebagai berikut:
1. Masalah Hukum Islam sendiri.
Masalah ini dapat timbul, baik dari luar kalangan ahli Hukum Islam maupun dari
kalangan dalam. Masalah yang datang dari luar ialah adanya penganut teori
resepsi dalam masyarakat Hukum Indonesia. Kendatipun teori ini telah mati
secara efektif dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tanggal 1
Oktober 1975, “arwahnya” masih tetap merasuki sebagian sarjana hukum negeri
ini. Adapun masalah yang timbul dari dalam ialah masalah yang melekat dalam
Hukum Islam itu sendiri. Masyarakat Islam Indonesia masih mempertanyakan dan
membedakan pengertian syari’ah (t)
Islam dengan Fikih Islam. Padahal jelas sekali bahwa Syari’at Islam adalah
Hukum Islam yang berlaku abadi sepanjang masa di mana pun umat Islam berada, sementara
Fikih Islam adalah hasil pemahaman manusia Muslim yang mempunyai syarat
tertentu di suatu tempat dan pada masa tertentu. Keduanya dapat dibedakan,
tetapi tidak dapat dipisahkan. Akibatnya ialah ada sementara masyarakat Islam
yang lebih suka mempraktekkan Hukum Isam yang terdapat dalam “kitab kuning”
daripada Hukum Islam yang telah menjadi hukum positif.
2. Masalah
yang menyangkut pelaksanaan peraturan perundang-undangan, khusus Undang-undang
Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989;
antara lain menyangkut siapakah yang berhak memilih hukum kewarisan, wasiat,
dan hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 Undang-undang Peradilan Agama
tersebut. Persoalan selanjutnya ialah apakah umat Islam Indonesia boleh memilih
hukum kewarisan, wasiat, dan hibah selain hukum kewarisan, wasiat dan hibah
Islam, termasuk kesadaran para hakim yang beragama Islam. Masalah lainnya ialah
fungsionalisasi Peradilan Agama yang menyangkut masalah pembinaan organisasi,
administrasi, personel, dan keuangan lembaga Peradilan Agama itu sendiri.[18]
Peran Peradilan Agama dalam pembinaan Hukum Nasional mempunyai arti
penting, karena wewenang Peradilan Agama adalah inti hukum kekeluargaan (hukum
perkawinan) dan inti hukum kebendaan atau harta kekayaan (hukum waris), serta
ekonomi Islam. Peran yang diharapkan dapat dilakukan kendatipun dalam pembinaan
Hukum Nasional diarahkan agar terbentuknya pembinaan asas-asas hukum,
prinsip-prinsip hukum dan kaidah hukum yang mampu menjadi sarana menjamin
keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum sehingga terwujud suatu masyarakat
Indonesia yang bebas, damai dan sejahtera.
Peran Peradilan Agama semakin kuat dengan kompetensinya di bidang ekonomi
syari’ah.[19]
Kompetensi ini tidak terlepas dari penerapan sistem ekonomi berdasarkan
syari’ah yang di antaranya sudah diatur melalui peraturan perundang-undangan.
Dalam masalah perbankan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbanksan Pasal
6 Huruf m menyebutkan bahwa bank umum dapat menyediakan pembiayaan bagi nasabah
berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam
peraturan pemerintah. Ketentuan lebih lanjut dikeluarkan PP Nomor 72 Tahun 1992
Tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam Pasal 2 Peraturan
Pemerintahn dimaksud disebutkan bahwa:
(1) Prinsip bagi hasil
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) adalah prinsip bagi hasil
berdasarkan Syari'at yang digunakan oleh bank berdasarkan prinsip bagi hasil
dalam:
a. menetapkan imbalan
yang akan diberikan kepada masyarakat sehubungan dengan penggunaan/pemanfaatan
dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya;
b. menetapkan imbalan
yang akan diterima sehubungan dengan penyediaan dana kepada masyarakat dalam
bentuk pembiayaan baik untuk keperluan investasi maupun modal kerja;
c. menetapkan imbalan
sehubungan dengan kegiatan usaha lainnya yang lazim dilakukan oleh bank dengan
prinsip bagi hasil.
(2) Pengertian prinsip
bagi hasil dalam penyediaan dana kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b, termasuk pula kegiatan usaha jual beli.
Pada tahun 2008 ditetapkan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah. Pasal 1 Ayat 1 UU
Nomor 21 Tahun 2008 menyebutkan bahwa Perbankan Syariah adalah segala sesuatu
yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan,
kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
Keberadaan berbagai peraturan perundang-undangan tersebut semakin
memperlihatkan eksistensi hukum Islam dalam tata hukum Indonesia.
Penjabaran tentang kedudukan hukum Islam dalam tata hukum Republik
Indonesia sebagaimana diungkapkan di atas menunjukkan bahwa hukum Islam diakui
keberadaannya. Keberadaan hukum Islam itu tidak akan terbantahkan, apalagi
kalau dikaitkan dengan realitas penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Sebagai penduduk yang beragama Islam, secara otomatis terikat dengan ketentuan
hukum Islam, walaupun ada sebagian hukum Islam yang tidak diakomodir oleh
negara.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ali, Daud, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia”, Taufiq Abdullah
(ed.), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES,
1988.
Ichtianto, “Pengadilan Agama sebagai Wadah Perjuangan Mengisi Kemerdekaan
Bangsa,” Tim Penyusun Buku, Kenang-kenangan Seabad Peradilan Agama di
Indonesia, Jakarta: Depag, 1985, Cet. I.
Praja, Juhaya S., Delik Agama dalam Hukum Pidana Indonesia, Bandung:
Angkasa, 1982, Cet. I.
RI, Departeman Penerangan, Kembali ke Undang-undang Dasar
1945, Jakarta: Gema Insani Press,
1959.
Suny, Ismail, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan,” Amrullah
Ahmad, SF., dkk., Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang
65 Tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH., Jakarta: Gema Insani Press,
1996, Cet. I.
Sumito, Aqip, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES,
1985, Cet. I.
Al-Zarqa, Mustafa Ahmad, al-Madkhahaf al-Fiqhiy al-Amm, juz II, Beirut: Dar al-Fikr, 1969.
KEDUDUKAN HUKUM ISLAM
DALAM TATA HUKUM REPUBLIK INDONESIA
Dipresentasikan pada Kuliah Umum
STAI Balai Selasa Kabupaten Pesisir Selatan
Senin, 5 Maret 2012
Oleh:
Prof. Dr. H. Asasriwarni, M.H.
PESISIR SELATAN
2012
[1]Disampaikan pada
Kuliah Umum di STAI Balai Selasa Kabupaten Pesisir Selatan, Senin, 5 Maret
2012.
[2]Guru Besar dalam
Bidang Hukum Islam pada Fakultas Syari’ah IAIN Imam Bonjol Padang &
Pembantu Rektor III IAIN Imam Bonjol Padang.
[3]Ismail
Suny, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan,” Amrullah Ahmad, SF.,
dkk., Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun
Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH., (Jakarta: Gema Insani Press, 1996),
Cet. I, hlm. 131.
[5]Pasal
14 ayat 2 Indische Staatregeling (IS) 1929.
[6]Ismail
Suny, “Kedudukan Hukum Islam,”
hlm. 351-357.
[7]Aqip
Sumito, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Cet. I,
hlm.15.
[8]Nur Ahmad Fadhil, Islamic
Justice, hlm. 80.
[9]Ismail Suny, ”Kedudukan Hukum Islam,” hlm. 7-8.
[10]Departeman
Penerangan RI, Kembali ke Undang-undang Dasar 1945, (Jakarta: Gema Insani Press, 1959), hlm. 85.
[12]Ichtianto,
“Pengadilan Agama sebagai Wadah Perjuangan Mengisi Kemerdekaan Bangsa,” Tim
Penyusun Buku, Kenang-kenangan Seabad Peradilan Agama di Indonesia,
(Jakarta: Depag, 1985), Cet. I, hlm. 72.
[13]Al-‘Urf,
menurut Al-Gazali ialah apa yang terputuskan dalam jiwa
yang dapat diterima akal sehat. Informasi tentang pengertian dan syarat-syarat al-‘urf
ini dibicarakan secara rinci dalam Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Madkhahaf
al-Fiqhiy al-Amm, juz II, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1969), hlm. 832-944.
[14]Menurut
al-Asfahani, al-‘Adah ialah perbuatan yang berulang kali yang dapat
diterima oleh akal sehat. Selanjutnya lihat informasi yang lebih luas mengenai
hal ini dalam Ibid., hlm. 838-944.
[15]Lihat
Juhaya S. Praja, Delik Agama dalam Hukum Pidana Indonesia, (Bandung:
Angkasa, 1982), Cet. I, hlm. 7.
[16]Artinya
bertahap dalam penerapan peraturan perundang-undangan. Adagium ini telah
menjadi asas pembinaan dan pengembangan Hukum Islam.
[17]Ini
Kaidah Hukum yang berarti apa yang tidak dapat dicapai seluruhnya tidak boleh
ditinggalkan seluruhnya.
[18]Daud
Ali, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia”, Taufiq Abdullah
(ed.), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES,
1988), hlm. 45.
[19]Pasal 49
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa Pengadilan agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b.
waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i.
ekonomi syari'ah.
0 komentar:
Posting Komentar