KEDUDUKAN HUKUM ISLAM
DALAM TATA HUKUM REPUBLIK INDONESIA[1]

Oleh: Prof. Dr. H. Asasriwarni, M.H.[2]



   Hukum Islam berkembang sejalan dengan perkembangan dan perluasan wilayah, begitu pula di Indonesia. Di negeri ini, mempelajari sejarah hukum (legal historis) Islam sangat erat kaitannya dengan periodisasi sejarah Indonesia secara umum. Khususnya selama masa keberadaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia. Pada masa Hindia Belanda, kedudukan Hukum Islam dapat dibagi dalam 2 periode: (1) Periode penerimaan Hukum Islam sepenuhnya, dan (2) Periode penerimaan Hukum Islam oleh Hukum Adat.[3]
1
 
Periode penerimaan Hukum Islam sepenuhnya disebut juga receptio in complexu, yaitu memperlakukan Hukum Islam secara penuh terhadap orang Islam karena mereka telah memeluk agama Islam. Belanda, sejak berdirinya VOC, telah mengakui apa yang telah berlaku sejak berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, seperti hukum kekeluargaan Islam, hukum perkawinan dan hukum waris. Bahkan hukum kekeluargaan itu diakui oleh VOC dan diterapkan dengan bentuk peraturan Resolutie der Indische Regeering pada tanggal 25 Mei 1860, yang merupakan kumpulan aturan Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan Islam, yang lebih terkenal sebagai Compendium Freijer. Hukum Islam yang telah berlaku sejak zaman VOC tersebut yang oleh pemerintah Hindia Belanda diberikan dasar hukumnya dalam Regeringsreglement (RR) tahun 1855. Dalam Pasal 75 dinyatakan bahwa oleh hakim Indonesia itu hendaklah diperlakukan undang-undang agama (godjestige wetten).[4] Pada periode penerimaan Hukum Islam oleh Hukum Adat (theorie receptie) ditetapkan bahwa Hukum Islam baru berlaku bila dikehendaki atau diterima oleh Hukum Adat.[5]
Pendapat Snouck Hurgronje diberi dasar hukumnya dalam Undang-undang Dasar Hindia Belanda yang menjadi pengganti Regeerings Reglement (RR), yang disebut Wet of de Staatsinrichting van Nederlands Indie, disingkat Indeische Staatregeling (IS). Dalam IS yang diundangkan dalam Staatsblad Nomor 212 Tahun 1929, Hukum Islam dicabut dari lingkungan tata Hukum Hindia Belanda. Pasal 134 ayat 2 IS Tahun 1929 itu berbunyi, “dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam, akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila Hukum Adat mereka menghendakinya dan sejauh mana itu tidak ditentukan lain dengan sesuatu ordonansi.”[6]
Pada pertengahan tahun 1937, Pemerintah Hindia Belanda mengumumkan pemindahan wewenang mengatur waris dari Pengadilan Agama kepada Pengadilan Negeri. Apa yang menjadi kompetensi Pengadilan Agama sejak tahun 1882 hendak dialihkan kepada Pengadilan Negeri. Dengan Staatsblad 1937 Nomor 116, wewenang Pengadilan Agama itu dicabut, dengan alasan Hukum Waris Islam belum sepenuhnya diterima oleh Hukum Adat.[7] Reaksi pihak Islam terhadap campur tangan Belanda dalam masalah-masalah Hukum Islam ini banyak menjauhkan umat Islam dari ketentuan-ketentuan agamanya adalah taktik Belanda untuk meneguhkan kekuasaannya di Indonesia. Oleh karena itu, tatkala kesempatan untuk memberlakukan Hukum Islam kembali terbuka (dengan terbentuknya Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan pada zaman penjajahan Jepang dan dilangsungkannya sidang-sidang mereka), maka para pemimpin Islam memperjuangkan hukum Islam tanpa menghubungkan dengan Hukum Adat. Sedangkan menurut Ismail Suny, Hukum Islam di Indonesia dibagi ke dalam dua periode, yaitu (1) Periode penerimaan Hukum Islam sebagai Sumber Persuasif  (2) Periode penerimaan Hukum Islam sebagai Sumber Otoritas.[8]
Dalam Hukum Konstitusi dikenal Persuasif Source dan Aouthoritative Source. Persuasif Source adalah sumber persuasif,  sedang Aouthoritative Source adalah sumber otoritatif yang mempunyai kekuatan (authority). Dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan berlakunya Undang-undang Dasar 1945, walaupun di dalamnya tidak dimuat 7 kata Piagam Jakarta, maka Theorie Receptie kehilangan dasar hukumnya, sebab, dasar hukum Theorie Receptie tersebut adalah IS, sedangkan dengan berlakunya Undang-undang Dasar 1945, IS tidak berlaku lagi. Setelah berlakunya Undang-undang Dasar 1945, Hukum Islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam, karena kedudukan Hukum Islam itu sendiri, bukan karena  telah diterima oleh Hukum Adat. Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 menetapkan, ”(1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Selama 14 tahun sejak ditandatangani gentlement agreement antara para pemimpin nasionalis sekuler dan nasionalis Islami pada tanggal 22 Juni 1945 sampai dengan saat diundangkannya Dekrit Presiden RI pada tanggal 5 Juli 1959, kedudukan ketentuan kewajiban menjalan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya adalah persuasif source. Sebagaimana halnya semua hasil sidang Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) adalah persuasif source bagi grondwetinterpretative Undang-undang Dasar 1945, maka Piagam Jakarta sebagai salah satu hasil sidang BPUPKI juga merupakan persuasive source Undang-undang Dasar 1945. Barulah kemudian, dengan ditempatkannya Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959, maka Piagam Jakarta atau penerimaan Hukum Islam menjadi authoritative source (sumber otoritatif) dalam Hukum Tata Negara Indonesia, bukan sekedar persuasive source (sumber persuasif). Dalam konsiderans Dekrit Presiden tersebut disebutkan, ”Kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut.”[9]
Menurut Hukum Tata Negara Indonesia, preambule (pembukaan), konsiderans, bahkan penjelasan peraturan perundangan mempunyai kedudukan Hukum. Preambule dan penjelasan Undang-undang Dasar adalah rangkaian kesatuan suatu konstitusi. Begitu pula, konsiderans dan penjelasan peraturan perundangan adalah bagian integral suatu peraturan perundangan. Dalam Penjelasan Pasal 3 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Undang-undang Dasar 1945 dalam huruf a pasal ini meliputi pembukaan, batang tubuh dan penjelasannya. Dengan demikian, maka preambule, Konsiderans, atau penjelasan Undang-undang Dasar/Peraturan Perundangan mempunyai kekuatan hukum.[10]
 Dekrit Presiden Republik Indonesia 5 Juli 1959, selain menetapkan Piagam Jakarta di dalam konsiderans, juga menetapkan diktum “Menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi.” Dengan demikian, dasar hukum Piagam Jakarta dalam konsiderans dan dasar hukum Undang-undang Dasar 1945 dalam diktum (batang tubuh) ditetapkan dalam satu peraturan perundangan yang dinamakan Dekrit Presiden. Keduanya menurut Hukum Tata Negara Indonesia, mempunyai kedudukan hukum yang sama. Presiden Republik Indonesia bukan hanya Ir. Soekarno secara pribadi, berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta menjiwai dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Undang-undang Dasar 1945. Perbedaan Piagam Jakarta dengan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 hanya terletak pada adanya 7 kata (dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluknya), maka itu berarti bahwa ketujuh perkataan itulah yang menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam Undang-undang Dasar 1945.
Kata ”menjiwai” secara negatif berarti bahwa tidak boleh dibuat peraturan perundangan dalam negara RI yang bertentangan dengan Syari’at Islam bagi pemeluknya. Secara positif berarti bahwa para pemeluk Islam diwajibkan menjalankan Syari’at Islam. Untuk itu, harus dibuat undang-undang yang akan memperlakukan Hukum Islam dalam Hukum Nasional. Pendapat ini sesuai dengan keterangan Perdana Menteri Juanda pada tahun 1959, yang mengatakan bahwa pengakuan terhadap Piagam Jakarta pengaruhnya bukan saja terhadap Undang-undang Dasar 1945, tetapi ia harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan.[11]
Politik hukum ini juga terlihat dalam Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960, yang menyatakan bahwa penyempurnaan hukum perkawinan dan hukum waris hendaknya memperhatikan faktor-faktor agama. Sampai dengan tanggal 27 Maret 1968, yaitu saat Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tidak lagi berlaku, tidak satu pun muncul undang-undang dalam bidang hukum perkawinan dan hukum waris, walaupun Lembaga Pembinaan Hukum Nasional telah menyiapkan Rancangan Undang-undang (RUU) Peraturan Pelengkap Pencatatan Perkawinan, RUU Hukum Perkawinan, dan RUU Hukum Waris. Sebaliknya dalam bidang yurisprudensi, dengan keputusan-keputusan Mahkamah Agung, sejak tahun 1959 diciptakan beberapa keputusan dalam bidang Hukum  Waris Nasional menurut sistem liberal. Di sini terlihat bahwa bidang Hukum Waris Nasional yang liberal lebih mendekati Hukum Islam daripada Hukum Adat.
Sementara itu, dalam pandangan Ichtijanto, teori berlakunya Hukum Islam di Indonesia dibagi ke dalam enam:
1.    Teori ajaran Islam tentang penaatan kepada hukum.
2.    Teori penerimaan otoritas hukum.
3.    Theorie Receptio in Complexu.
4.    Theorie Receptie.
5.    Theorie Receptie Exit.
6.    Theorie Receptio a Contrario.[12]
Teori penaatan kepada hukum bagi orang yang terkandung dalam sumber ajaran dan sumber hukum, yakni al-Qur’an dan Sunnah. Teori penerimaan otoritas hukum adalah teori yang telah dianut oleh semua imam mazhab. Hukum Islam menyatakan bahwa siapa pun yang telah menyatakan dirinya sebagai seorang Muslim, dengan mengucapkan dua kalimah syahadat, ia terikat untuk patuh dan taat kepada hukum dan ajaran Islam. Sedangkan Theori Receptie in Complexu dan Theori Receptie telah dijelaskan di atas. Kematian Theori Receptie diawali ketika lahirnya Undang-undang Dasar 1945 yang dipertegas oleh Dekrit Presiden tahun 1959 dan terkubur dengan diundangkannya Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Undang-undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989.
Theori Receptie Exit diintroduksi oleh Hazairin. Teori ini menyatakan bahwa Theori Receptie harus keluar dari teori Hukum Nasional Indonesia karena bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila serta bertentangan pula dengan al-Qur’an dan Sunnah. Teori ini kemudian dikembangkan oleh Sayuti Thalib dengan Theorie Receptie a Contrario yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat adalah hukum agamanya. Ini berarti bahwa Hukum Adat hanya berlaku kalau tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Teori ini sejiwa dengan teori para pakar Hukum Islam (fuqaha) tentang al-’urf, [13] dan teori al-’adah.[14]
Sejalan dengan sejarah Hukum Indonesia serta perkembangan enam teori berlakunya Hukum Islam di Indonesia, unsur-unsur dalam sistem Hukum Pancasila terisi oleh unsur-unsur Hukum Islam. Sistem Hukum Pancasila adalah seperangkat kaidah hukum dalam berbagai lapangan hukum yang merupakan bagian atau unsur dari padanya. Unsur-unsur itu bersumber pada Pancasila yang saling berkait satu sama lainnya dan merupakan kepaduan hukum dalam suatu wawasan Nusantara wilayah negara Republik Indonesia. Pancasila adalah filsafat yang unik, karena keunikan sila pertamanya, Ketuhanan yang Maha Esa, merupakan kausa prima dari sila-sila lainnya. Pancasila adalah suatu filsafat yang harus diamalkan sesuai dengan amanat rakyat yang tertuang dalam TAP MPR Nomor II/MPR/1978. Amanat rakyat ini dipertegas oleh GBHN melalui TAP MPR Nomor II/MPR/1983.
Berkaitan dengan bidang agama, GBHN yang ditetapkan dalam melalui TAP MPR Nomor II/MPR/1983 menyatakan bahwa pengalaman agama dalam kehidupan pribadi dapat terlaksana tanpa bantuan perundang-undangan. Namun, pengamalan agama dalam kehidupan kemasyarakatan memerlukan proses masuknya ajaran atau hukum agama ke dalam hukum bermasyarakat di dalam kerangka Hukum Nasional. Pernyataan GBHN menguatkan pernyataan bahwa hukum agama, dalam hal ini Hukum Islam, merupakan unsur Hukum Adat dan hukum lainnya yang tidak bertentangan dengan jiwa Pancasila. Kenyataan menunjukkan berbagai peraturan perundang-undangan menjadikan agama sebagai unsur ajaran dan etikanya, seperti yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 Jo Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954, yakni Undang-undang NTCR; Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 jo Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961, PP Nomor 29 Tahun 1957 yang diganti dan diperluas menjadi Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 15,14 (1), 49 (2), 49 (3), jo PP No 28 Tahun 77, Undang-undang Nomor 1 PNPS/1965; Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo PP Nomor 9 Tahun 1975.
Persoalannya sekarang ialah bagaimana menjadikan Hukum Islam sebagai penunjang pembangunan dalam kerangka sistem Hukum Pancasila. Walaupun dalam praktek tidak lagi berperan secara penuh dan menyeluruh, Hukum Islam masih memiliki arti besar bagi kehidupan para pemeluknya. Setidak-tidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan Hukum Islam masih memiliki peran besar dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pertama, Hukum Islam telah turut serta menciptakan tata nilai yang mengatur kehidupan umat Islam, minimal dengan menetapkan apa yang harus dianggap baik dan buruk, apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenan, dan larangan agama. Kedua, banyak keputusan hukum dan unsur yurisprudensial dari Hukum Isam telah diserap menjadi bagian dari hukum positif yang berlaku.[15] Ketiga, adanya golongan yang masih memiliki aspirasi teokratis di kalangan umat Islam dari berbagai negeri sehingga penerapan Hukum Islam secara penuh masih menjadi slogan perjuangan yang masih mempunyai perhatian cukup besar.
Hukum Islam dewasa ini masih belum dinamis dan masih dalam batas-batas mempertahankan identitas keislaman dari pengaruh non Islam yang bersifat sekuler. Ungkapan para pemikir Islam masih terbatas pada salah satu fungsi hukum, yakni nahi munkar dalam pengertian kontrol sosial. Belum memaksimalkan fungsi amar ma’ruf (social enginering) yang menekankan anjuran kebaikan dalam arti luas dan praktis. Oleh karena itu, terdapat kesan bahwa Hukum Islam kehilangan relevansinya.
Upaya dinamisasi Hukum Islam harus didasari oleh pemahaman ciri-ciri khusus dalam Hukum Islam. Ciri utama yang pertama ialah keterlepasan Hukum Islam dari perspektif kesejarahannya. Hukum Islam mempunyai sejarah yang disebut tarikh tasyri’, tetapi tidak menjadi bagian dari sebuah proses sejarah umum. Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Islam tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah Islam, maka diambil jalan lain dengan menunda pelaksanaannya serta menggantinya dengan peraturan yang bersifat tradisional. Pakar Hukum Islam pun melegalisasikan dengan asas al-tadarruj fi al-tasyri’[16] dan kaidah ma la yudrak kulluh la yutrak kulluh.[17] Ciri utama yang kedua ialah keterikatan Hukum Islam yang sangat kuat terhadap landasan penafsiran harfiah bangsa Arab, baik terhadap landasan penafsiran harfiah bahasa Arab maupun terhadap al-Qur’an dan Hadis. Akibat keterikatan ini terbentuk definisi-definisi dan ketetapan-ketetapan hukum yang terasa kaku (umpamanya semua jenis pertaruhan dimasukkan ke dalam status hukum perjudian karena kata al-maisir), Q.S. al-Maidah [5]: 90 tidak memiliki konotasi di luar arti berjudi dan meniadakan kemungkinan pengembangan pola dipersifikatif dan multidemensional bagi Hukum Islam.
Imam al-Syafi’i (w. 204 H/820 M) berhasil menyusun metodologi Hukum Islam yang disebut Ushul al-Fiqh sebagaimana disajikannya dalam karya momumentalnya yang berjudul al-Risalah. Namun, usaha al-Syafi’i itu belum menyelesaikan aspek metodologis secara tuntas dan futuritis, karena masih terdapat ikatan-ikatan kepada konotasi bahasa yang tertentu (literer). Usaha pembaharuan memang dapat menyelesaikan beberapa persoalan, walaupun tertekan unsur sektarian karena peninjauan yang tidak multidimensional.
Ciri utama ketiga ialah ketiadaan otoritas tunggal yang mampu meratakan keputusan-keputusan hukumnya di masyarakat. Walaupun telah ada pranata fatwa dengan segenap kelengkapannya, keputusan hukumnya masih bercorak individual. Sebagai pendapat seorang faqih, sering berbeda dan senantiasa merupakan alternatif. Dalam konteks ini dikenal istilah “perbedaan pendapat di kalangan umat itu adalah rahmat bagi umat (ikthilaf al-ummah rahmat).”
Berdasarkan ciri-ciri khas Hukum Islam dalam tinjauan sejarah tersebut, maka pembinaan Hukum Islam di Indonesia harus diarahkan kepada upaya perumusan prinsip-prinsip pengambilan keputusan hukum agama yang lebih mencerminkan kebutuhan masyarakat. Untuk merealisasikan hal itu, diperlukan fungsionalisasi efektif lembaga-lembaga yang ada serta upaya penyusunan metodologi hukum yang sesuai dengan perkembangan Hukum Islam di Indonesia dalam rangka pembentukan Hukum Islam ala Indonesia. Dalam rangka pelaksanaan Syari’at Islam dalam arti al-Qur’an dan Sunnah, tidak perlu diperintahkan secara formal oleh undang-undang, karena bagi setiap orang yang telah berikrar sebagai seorang Muslim maka berlakulah kewajiban menjalankan syari’at yang diyakininya itu. Dalam bagian-bagian kehidupan di bidang mu’amalah diperlukan pranata yang dapat memelihara keterlibatan dan ketentraman serta kepastian hukum. Di sinilah letak peran penting lembaga-lembaga Hukum Islam, baik yang telah diakui sebagai pranata hukum menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun yang diakui berdasarkan adat etika masyarakat Muslim.
Pengembangan lembaga-lembaga yang dapat berfungsi sebagaimana diharapkan di atas mempunyai landasan pemikiran politik hukum yang kuat, terutama lembaga Peradilan Agama dan yang berkaitan dengannya. Oleh karena itu, salah satu bidang kehidupan yang jelas terjangkau Hukum Islam adalah bidang peradilan ini dengan kompetensinya yang jelas menurut peraturan perundang-undangan yang telah berlaku. Walaupun kedudukan, status, dan kewenangan Pengadilan Agama telah jelas aturan hukumnya, masalah yang timbul di lingkungan lembaga ini masih tetap ada. Masalah tersebut meliputi pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan inheren dalam Hukum Islam itu sendiri serta pandangan para sarjana hukum terhadapnya. Daud Ali mendefinisikan beberapa masalah tersebut, antara lain sebagai berikut:
1.  Masalah Hukum Islam sendiri. Masalah ini dapat timbul, baik dari luar kalangan ahli Hukum Islam maupun dari kalangan dalam. Masalah yang datang dari luar ialah adanya penganut teori resepsi dalam masyarakat Hukum Indonesia. Kendatipun teori ini telah mati secara efektif dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tanggal 1 Oktober 1975, “arwahnya” masih tetap merasuki sebagian sarjana hukum negeri ini. Adapun masalah yang timbul dari dalam ialah masalah yang melekat dalam Hukum Islam itu sendiri. Masyarakat Islam Indonesia masih mempertanyakan dan membedakan pengertian syari’ah (t) Islam dengan Fikih Islam. Padahal jelas sekali bahwa Syari’at Islam adalah Hukum Islam yang berlaku abadi sepanjang masa di mana pun umat Islam berada, sementara Fikih Islam adalah hasil pemahaman manusia Muslim yang mempunyai syarat tertentu di suatu tempat dan pada masa tertentu. Keduanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Akibatnya ialah ada sementara masyarakat Islam yang lebih suka mempraktekkan Hukum Isam yang terdapat dalam “kitab kuning” daripada Hukum Islam yang telah menjadi hukum positif.
2.  Masalah yang menyangkut pelaksanaan peraturan perundang-undangan, khusus Undang-undang Peradilan Agama  Nomor 7 Tahun 1989; antara lain menyangkut siapakah yang berhak memilih hukum kewarisan, wasiat, dan hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 Undang-undang Peradilan Agama tersebut. Persoalan selanjutnya ialah apakah umat Islam Indonesia boleh memilih hukum kewarisan, wasiat, dan hibah selain hukum kewarisan, wasiat dan hibah Islam, termasuk kesadaran para hakim yang beragama Islam. Masalah lainnya ialah fungsionalisasi Peradilan Agama yang menyangkut masalah pembinaan organisasi, administrasi, personel, dan keuangan lembaga Peradilan Agama itu sendiri.[18]
Peran Peradilan Agama dalam pembinaan Hukum Nasional mempunyai arti penting, karena wewenang Peradilan Agama adalah inti hukum kekeluargaan (hukum perkawinan) dan inti hukum kebendaan atau harta kekayaan (hukum waris), serta ekonomi Islam. Peran yang diharapkan dapat dilakukan kendatipun dalam pembinaan Hukum Nasional diarahkan agar terbentuknya pembinaan asas-asas hukum, prinsip-prinsip hukum dan kaidah hukum yang mampu menjadi sarana menjamin keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum sehingga terwujud suatu masyarakat Indonesia yang bebas, damai dan sejahtera.
Peran Peradilan Agama semakin kuat dengan kompetensinya di bidang ekonomi syari’ah.[19] Kompetensi ini tidak terlepas dari penerapan sistem ekonomi berdasarkan syari’ah yang di antaranya sudah diatur melalui peraturan perundang-undangan. Dalam masalah perbankan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbanksan Pasal 6 Huruf m menyebutkan bahwa bank umum dapat menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Ketentuan lebih lanjut dikeluarkan PP Nomor 72 Tahun 1992 Tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintahn dimaksud disebutkan bahwa:
(1)   Prinsip bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) adalah prinsip bagi hasil berdasarkan Syari'at yang digunakan oleh bank berdasarkan prinsip bagi hasil dalam:
a. menetapkan imbalan yang akan diberikan kepada masyarakat sehubungan dengan penggunaan/pemanfaatan dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya;
b. menetapkan imbalan yang akan diterima sehubungan dengan penyediaan dana kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan baik untuk keperluan investasi maupun modal kerja;
c. menetapkan imbalan sehubungan dengan kegiatan usaha lainnya yang lazim dilakukan oleh bank dengan prinsip bagi hasil.
(2)   Pengertian prinsip bagi hasil dalam penyediaan dana kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, termasuk pula kegiatan usaha jual beli.

            Pada tahun 2008 ditetapkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah. Pasal 1 Ayat 1 UU Nomor 21 Tahun 2008 menyebutkan bahwa Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Keberadaan berbagai peraturan perundang-undangan tersebut semakin memperlihatkan eksistensi hukum Islam dalam tata hukum Indonesia.
Penjabaran tentang kedudukan hukum Islam dalam tata hukum Republik Indonesia sebagaimana diungkapkan di atas menunjukkan bahwa hukum Islam diakui keberadaannya. Keberadaan hukum Islam itu tidak akan terbantahkan, apalagi kalau dikaitkan dengan realitas penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Sebagai penduduk yang beragama Islam, secara otomatis terikat dengan ketentuan hukum Islam, walaupun ada sebagian hukum Islam yang tidak diakomodir oleh negara.




DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ali, Daud, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia”, Taufiq Abdullah (ed.), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1988.

Ichtianto, “Pengadilan Agama sebagai Wadah Perjuangan Mengisi Kemerdekaan Bangsa,” Tim Penyusun Buku, Kenang-kenangan Seabad Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Depag, 1985, Cet. I.

Praja, Juhaya S., Delik Agama dalam Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Angkasa, 1982, Cet. I.

RI, Departeman Penerangan, Kembali ke Undang-undang Dasar 1945,  Jakarta: Gema Insani Press, 1959.

Suny, Ismail, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan,” Amrullah Ahmad, SF., dkk., Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH., Jakarta: Gema Insani Press, 1996, Cet. I.

Sumito, Aqip, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1985, Cet. I.

Al-Zarqa, Mustafa Ahmad, al-Madkhahaf al-Fiqhiy al-Amm,  juz II, Beirut: Dar al-Fikr, 1969.





















 

KEDUDUKAN HUKUM ISLAM
DALAM TATA HUKUM REPUBLIK INDONESIA






Dipresentasikan pada Kuliah Umum
STAI Balai Selasa Kabupaten Pesisir Selatan
Senin, 5 Maret 2012













Oleh:

Prof. Dr. H. Asasriwarni, M.H.









PESISIR SELATAN
2012



[1]Disampaikan pada Kuliah Umum di STAI Balai Selasa Kabupaten Pesisir Selatan, Senin, 5 Maret 2012.
[2]Guru Besar dalam Bidang Hukum Islam pada Fakultas Syari’ah IAIN Imam Bonjol Padang & Pembantu Rektor III IAIN Imam Bonjol Padang.
[3]Ismail Suny, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan,” Amrullah Ahmad, SF., dkk., Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH., (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Cet. I, hlm. 131.
[4]Ibid.
[5]Pasal 14 ayat 2 Indische Staatregeling (IS) 1929.
[6]Ismail Suny, “Kedudukan Hukum Islam,” hlm. 351-357.
[7]Aqip Sumito, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Cet. I, hlm.15.
[8]Nur Ahmad Fadhil, Islamic Justice, hlm. 80.
[9]Ismail Suny, ”Kedudukan Hukum Islam,” hlm. 7-8.
[10]Departeman Penerangan RI, Kembali ke Undang-undang Dasar 1945,  (Jakarta: Gema Insani Press, 1959), hlm. 85.
[11]Ibid. 
[12]Ichtianto, “Pengadilan Agama sebagai Wadah Perjuangan Mengisi Kemerdekaan Bangsa,” Tim Penyusun Buku, Kenang-kenangan Seabad Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Depag, 1985), Cet. I, hlm. 72.
[13]Al-‘Urf, menurut Al-Gazali ialah apa yang terputuskan dalam jiwa yang dapat diterima akal sehat. Informasi tentang pengertian dan syarat-syarat al-‘urf ini dibicarakan secara rinci dalam Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Madkhahaf al-Fiqhiy al-Amm,  juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1969), hlm. 832-944.
[14]Menurut al-Asfahani, al-‘Adah ialah perbuatan yang berulang kali yang dapat diterima oleh akal sehat. Selanjutnya lihat informasi yang lebih luas mengenai hal ini dalam Ibid., hlm. 838-944.
[15]Lihat Juhaya S. Praja, Delik Agama dalam Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1982), Cet. I, hlm. 7.
[16]Artinya bertahap dalam penerapan peraturan perundang-undangan. Adagium ini telah menjadi asas pembinaan dan pengembangan Hukum Islam. 
[17]Ini Kaidah Hukum yang berarti apa yang tidak dapat dicapai seluruhnya tidak boleh ditinggalkan seluruhnya. 
[18]Daud Ali, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia”, Taufiq Abdullah (ed.), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm. 45.
[19]Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar