Kebijakan Kehutanan Untuk Mencegah Kerusakan Hutan Dan Lahan Di Solok Selatan.



Kajian Hukum
 Kebijakan Kehutanan Untuk Mencegah Kerusakan Hutan Dan Lahan Di Solok Selatan.
 (Melihat Persiapan Skema REDD dan Implikasinya terhadap Hak Masyarakat Hukum Adat)



Nurul Firmansyah
Jomi Suhendri
Rifai Lubis
Naldi Gantika
Lily Suarni
















Perkumpulan Qbar & Samdhana Institute
2010

1.      Pendahuluan
            Latar Belakang
Relasi hutan dengan manusia mempunyai banyak wajah, baik itu wajah sosial-kultural, maupun wajah ekonomi yang bermunculan dalam satu situasi yang bersamaan.  Hutan tidak lagi di pandang sebagai ruang ekologi yang nir-nilai namun sebagai arena kontestasi berbagai kepentingan. Isu pemanasan global misalnya,  adalah bentuk nyata bagaimana kepentingan masyarakat global atas hutan yang menyakini hutan sebagai reduktor pemanasan global tersebut (baca; peran mitigasi hutan atas perubahan iklim) yang kemudian bergelindan dengan berbagai kepentingan-kepentingan lokal, regional dan nasional. Di sisi lain, masyarakat adat sebagai penjaga utama ekologis hutan berhadapan langsung dengan berbagai aktor yang hadir sebagai pemangku kepentingan atas hutan itu.  Dari berbagai studi-studi memperlihatkan bahwa masyarakat adat acapkali terpinggirkan dalam arena kontestasi ini.

Hal diatas tidak terlepas dari pilihan pengelolaan hutan Indonesia yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi semata. Hal itu telah terbukti merusak hutan dan melahirkan dampak sosial, kultural – ekonomi yang serius, terutama yang bersentuhan dengan masyarakat (masyarakat adat) yang hidup di sekitar atau di dalam kawasan hutan di daerah-daerah. Oleh I Nyoman nurjaya secara gamblang menyebutkan; „ ... pemberian konsesi HPH dan HPHH serta HTI kepada pihak Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga menimbulkan bencana nasional, karena kerusakan sumber daya hutan akibat eksploitasi yag tak terkendali dan tak di awasi secara konsisten selain menimbulkan kerugian ekologis (ecological cost) yang tak terhitung nilainya, juga menimbulkan kerusakan sosial dan budaya (social-cultural cost), termasuk pembatasan akses dan penggusuran masyarakat serta munculnya konflik-konflik atas pemanfaatan sumber daya di daerah.“[7]

Secara umum, kegagalan pengelolaan hutan itu di sebabkan oleh dua hal penting, yaitu;  pertama, persoalan manajemen pengelolaan hutan, yakni; mis manajemen pengelolaan hutan oleh negara yang berakibat pada relasi rente - ekonomi pengusaha  dengan oknum pemerintahan dan lalainya pengendalian pasar atas kebutuhan bahan baku dari hutan, baik itu dalam konteks produksi kayu (timber product ) maupun hasil tambang dalam kawasan hutan sehingga laju eksploitasi tidak terbendung. Kedua, persoalan  hak (legalitas) atas penguasaan hutan, yakni tumpang tindih penguasaan hutan oleh negara, badan usaha kehutanan / pertambangan dengan masyarakat adat yang berakibat pada peminggiran hak ulayat (hutan adat) masyarakat adat dan diabaikannya ekspresi pengelolaan hutan oleh masyarakat adat tersebut. Sampai saat ini, persoalan kehutanan ini tidak pernah di selesaiakan secara komprehensif oleh pemerintah, terlihat dari masih dianutnya kekuasaan pengelolaan oleh pemerintah pusat yang sentralistik, nir-partisipatif dan meminggirkan hak masyarakat adat dalam kebijakan kehutanan.

Kondisi diatas juga dirasakan oleh kabupaten solok selatan dimana berbagai bencana ekologis seperti banjr dan longsor marak terjadi. Selain itu, konflik-konflik sosial pemanfaatan hutan juga menjadi persoalan serius yang dihadapi kabupaten ini, misalnya konflik antara masyarakat nagari dengan PT. AMT. Seiring dengan itu, inisiatif untuk menguatkan hak-hak masyarakat adat oleh pemerintah daerah terus berlangsung seperti lahirnya perda nagari dan perda tanah ulayat. Inisiatif-inisiatif itu kemudian berbenturan langsung dengan kebijakan kehutanan yang sentralistik itu. Contoh benturan tersebut jelas terlihat dalam program-program pencegahan kerusakan hutan di solok selatan sebagai respon pemerintah dalam mengatasi persoalan kehutanan.

Program-program kerusakan hutan sendiri dilaksanakan pemerintah dengan  dengan melahirkan program – program pencegahan deforestasi / degradasi hutan dan reforestasi hutan. Untuk melihat seberapa besar program-program tersebut dapat mengatasi persoalan kehutanan yang selama ini terjadi, maka kajian ini akan menelaah secara hukum dua kebijakan program pencegahan kerusakan hutan tersebut, yaitu GNRHL dan REDD.

            Cakupan Kajian
Kajian ini membatasi diri pada ; (1) Ranah kajian adalah kabupaten solok selatan, (2)  Pembahasan beberapa aspek pengaturan dari berbagai UU dan peraturan sumber daya alam terutama kehutanan, baik di tingkat nasional maupun daerah yang relevan dengan hak masyarakat adat dan kebijakan pencegahan pengrusakan hutan di solok selatan, (3) Dalam hal kebijakan pencegahan pengrusakan hutan menfokuskan diri pada kebijakan GNRHL dan REDD.

Kajian ini berangkat dari pertanyaan ; Bagaimana kebijakan sumber daya alam terutama kehutanan dalam mencegah kerusakan hutan dan implikasinya terhadap hak-hak masyarakat adat di Kabupaten Solok Selatan ? sehingga hampir semua bahasan dalam kajian ini merupakan jawaban atas pertanyaan tersebut sehingga kajian ini memeriksa aspek tertentu peraturan perundang-undangan tentang hak masyarakat adat, peraturan sumber daya alam terutama kehutanan dan program GNRHL serta REDD.

            Kerangka Berpikir
Konstruksi argumentasi yang dikembangkan dalam kajian ini di hasilkan dari ananlisis teks dan dokumen-dokumen serta bahan-bahan skunder yang relevan.. Analisis ini akan menghasilkan temuan-temuan yuridis yang berhubungan dengan program pencegahan pengrusakan hutan di solok selatan dan implikasi yuridis terhadap hak-hak masyarakat adat di solok selatan.


2.      Profil Kabupaten Solok Selatan
Kabupaten Solok Selatan adalah salah satu Kabupaten hasil pemekaran yang marak ditetapkan di tahun 2004 bersamaan dengan 24 Kabupaten baru lainnya di Indonesia. Wilayah solok selatan terletak di Selatan Provinsi Sumatera Barat dengan Padang Aro sebagai Pusat pemerintahannya. Kabupaten ini berbatas secara administratif sebagai berikut: sebelah Utara dengan Kabupaten Solok; sebelah Selatan dengan Kabupaten Bungo dan Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi; sebelah Barat dengan Kabupaten Pesisir Selatan; dan sebelah Timur dengan Kabupaten Dharmasraya. Kabupaten solok selatan di bagi atas 7 (tujuh) Kecamatan dan  32 nagari. Ketujuh kecamatan tersebut adalah:

1.      Kecamatan Sangir Batang Hari
2.      Kecamatan Sangir Jujuan
3.      Kecamatan Sangir
4.      Kecamatan Sungai Pagu
5.      Kecamatan Koto Parik Gadang Di Ateh
6.      Kecamatan Sangir Balai Janggo
7.      Kecamatan Pauh Duo

Kabupaten Solok Selatan terletak pada koordinat 0’4” - 1’43” Lintang Selatan 101’01” – 101’30” Bujur Timur dengan Luas wilayah 3.346,20 km dan beriklim tropis, dengan suhu rata-rata  20˚C hingga 33˚C serta curah hujan 1.600 – 4.000 mm/tahun. Penduduk kabupaten Solok Selatan saat ini tercatat sebanyak 133.861 jiwa terdiri atas 65.826 jiwa laki-laki dan 68.035 jiwa perempuan. Pola pemanfaatan lahan pertanian produktif di Kabupaten ini adalah persawahan dengan luas 5.20 % dan 94.8 % lahan bukan sawah. Sedangkan pemanfaatan lahan yang telah dimanfaatkan untuk pertanian dan atau  perkebunan ini telah mencapai 36,49 % dari total wilayah Kabupaten Solok Selatan. Selebihnya wilayah yang lain dari kabupaten ini masih pada sumber daya hutan yang kaya.  Kabupaten Solok Selatan memiliki hutan yang cukup luas. Dan luas hutan di Kabupaten ini adalah: 334.620,00 Ha. Dengan pembagian fungsinya sebagai berikut:

No
Peruntukan Areal
Luas (Ha)
1.
Hutan Lindung
90.545,49
2.
Hutan Produksi
77.317,65
3.
Hutan Konservasi/Suaka Alam
67.579,44
4.
Areal Penggunaan Lain/APL
99.177,42

Jumlah
334.620,00
Sumber : INTAG (2007) Dinas Kehutanan Propinsi Sumbar

Dari data dinas kehutanan dan perkebunan Kabupaten Solok Selatan, lahan kritis yang harus segera dilakukan penghijauan kembali atau reboisasi adalah 15.625,66 Ha. Lahan kritis tersebut terdiri dari 3.688,43 Ha berada dihutan lindung yang luasnya 90.545,49 Ha kemudian 75,56 ha berada dihutan produksi yang luasnya 71.317,65 Ha.

3.      Tentang Pemanasan Global

            Penyebab dan Dampak Pemanasan Global
Pemanasan global atau yang sering juga di sebut juga dengan efek rumah kaca adalah persoalan dunia yang menjadi perhatian serius nagara-negara di dunia. Pemanasan global atau efek rumah kaca ini diakibatkan oleh besarnya emisi gas rumah kaca dari aktifitas manusia (antrhropogenic) di planet ini. Besarnya emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosphere berakibat pada bertambahnya temperature rata-rata yang berkonsekuensi pada perubahan pola iklim dan elemen iklim seperti kadar hujan, sirkulasi angin, tekanan atmosfir dan sirkulasi lautan.[8]

Gas rumah kaca sendiri terdiri dari karbondioksida (CO) , metana (NH) dan nitrous oxide (NO) yang secara alamiah terjadi di atmosfir dalam jumlah yang kecil yang bertugas mencegah panas bumi dari matahari keluar sehingga menciptakan bumi tetap hangat.[9] Aktifitas manusia yang menghasilkan karbon dioksida yang merupakan gas rumah kaca terbesar adalah dari pembakaran bahan bakar fosil dan deforestasi. Hal tersebut berkonsekuensi pada terperangkapnya panas bumi dari sinar matahari oleh gas rumah kaca sehingga melahirkan peningkatan suhu bumi.[10] Secara gamblang, efek rumah kaca tersebut dapat dilihat dalam gambar di bawah ini ;


Oleh IPCC (the intergovernmental Panel on Climate Chance) menyebutkan bahwa fakta-fakta pemanasan global tak terbantahkan lagi, berupa [11] :

0.            Naiknya temperatur global pada periode 1906-2005 sebesar 0,74 C dari temperatur pra industri
1.            sebagian besar kenaikan temperature mengalami peningatan tajam sejak pertengahan abad 20 yang disebabkan oleh prilaku manusia yang melepaskan gas rumah kaca (GRK) seperti karbondioksida (CO) dan pembakaran bahan bakar fosil seperti bensin, minyak tanah, avtur dll
2.            kadar CO di atmosfer pada 2005 mengalami peningkatan yang tajam dari 650.000 tahun sebelum Pra-Industri yang mengaibatan tenperatur bumi meningkat dan perubahan iklim.
3.            11 dari 12 tahun terpanas sejak 1830 terjadi antara 1995 – 2006
4.            dengan pola pelepasan emisi sekarang, maka dalam 30 tahun mendatang, kita aan menuju kenaikan pemanasan global 2 C, bahkan lebih.

Oleh sebab itu, pemanasan global menjadi persoalan signifikan bagi planet ini yang berdampak bagi semua negara. Dampak pemanasan global hampir dirasakan bagi seluruh umat manusia di berbagai Negara pada dekade terakhir, berupa  kekeringan, banjir,  topan, dan kebakaran hutan.[12] IPCC (2001) melansir, pemanasan global berdampak serius bagi umat manusia seperti yang tercantum dalam table berikut  ;

Proyeksi perubahan iklim akibat Pemanasan Global pada Abad 21

Dampak
Panasnya suhu harian dan gelombang panas
·         Penyakit serius dan kematian
·         Stress
·         Gagal panen
Peningkatan intensitas hujan atau salju
·         Banjir
·         Longsor
·         Erosi tanah
Peningkatan topan tropic
·         Resiko bencana topan
·         Epidemic penyakit
·         Kerusakan ekosistem pantai
Peningkatan aktifitas El nino
·         Pengurangan produktifitas pertanian di wilayah tropis
·         Pengurangan sumber daya air
·         Bertambahnya banjir dan kekeringan

            Upaya Mengatasi Pemanasan Global dan Peran Hutan

Penyumbang GRK terbesar disumbangkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, aktifitas industri dan lain-lain, yaitu sebesar 56,6 %. Selain itu,  deforestasi dan pembusukkan biomassa juga merupakan penyumbang emisi GRK sebesar 17.3 % (laporan IPCC, 2007). Artinya, penyumbang GRK  terbesar adalah dari aktifitas manusia, yaitu akibat meningkatnya pertumbuhan industri dan tingkat konsumsi manusia, baik itu dari penggunaan bahan baker fosil, pembakaran hutan dan alih fungsi lahan yang sangat massif.

Para peneliti sepakat bahwa pemanasan global dapat di kurangi atau dihambat melalui upaya – upaya adaptasi dan mitigasi. Adaptasi di perlukan dalam rangka mempersiapkan manusia untuk merespon atas perubahan iklim dan di paksa harus terbiasa dengan perubahan iklim yang terjadi. Atau dengan kata lain, tindakan penyesuaian oleh system alam atau manusia yang berupaya mengurangi kerusakan terhadap dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Sedangkan mitigasi lebih diarahkan pada bagaiman cara kita mengatasi sumber atau penyebab perubahan iklim itu sendiri. Dalam konteks mitigasi, hanya satu cara yang dapat dilakukan, yaitu “kurangi emisi karbon.” Pengurangan emisi tersebut dapat melalui: pertama, pengurangan pelepasan karbon ke atmosfir, atau, kedua, menambah penyerapan karbon yang ada di atmosfer

Kesadaran atas dampak pemanasan global di sadari sejak dahulu oleh masyarakat internasional terutama sejak disepakatinya United Nations Convention On Climate chance pada tahun 1992. dalam rangka mendukung konvensi tersebut, maka di bentulah Conference Of parties (COP) sebagai media bagi Negara-negara pihak untuk membahas berbagai mekanisme di perlukan untuk mengatasi pemanasan global tersebut.

Hasil –hasil perundingan COP telah berlangsung dari COP 1 di Berlin yang menghasilkan Berlin Mandate sampai dengan COP 13 di Bali yang menghasilkan Bali Road Map. Dari proses tersebut, paling tidak ada tiga hal yang harus di lakukan negara-negara industri melalui meanisme tersebut,[13] yaitu;

a.       Menstabilisasi emisi karbon untuk menghindari kenaikan temperature bumi
b.      Memotong emisi karbon hingga 40 % pada tahun 2020 dan paling tidak 80 % pada tahun 2050
c.       Membayar ke Negara-negara miskin untuk mengembangkan upaya-upaya pengurangan emisi dan adaptasi atas dampak pemanasan global.

Upaya mitigasi pemanasan global tidak terlepas dari peran hutan. Dalam laporan stern yang sangat terkenal, menyebutkan bahwa mengurangi emisi dari deforestasi merupakan opsi mitigasi dengan biaya efisien.[14] Oleh sebab itulah proyek menjaga dan melestarikan hutan menjadi salah satu isu utama dalam perundingan perubahan iklim, terutama sejak COP 7.

Peran hutan dalam mitigasi pemanasan global mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu sebagai penyerap emisi karbon sekaligus pengurang pelepasan karbon di atmosfir, berikut di jelaskan dua peran itu :

1.      Sebagai penyerap emisi karbon
penimbunan karbon dalam tanaman-tanaman yang mempunyai jenis dan sifat tertentu terutama yang terdapat dalam pohon-pohonan. Proses penimbunannya disebut sebagai proses sekuestrasi (carbon sequestration) yaitu proses penyimpanan karbon di dalam tanaman yang sedang tumbuh. Tanaman atau pohon di hutan dianggap mempunyai fungsi sebagai tempat penimbunan atau pengendapan karbon (carbon sink).

2.      Sebagai pengurang pelepasan karbon di atmosfir
Cadangan karbon dalam hutan alam akan berkurang jika hutan alam di ubah menjadi perkebunan, lahan pertanian dan aktifitas ekspoitasi lainnya terhadap hutan. Peristiwa pembakaran dan kebakaran hutan meyebabkan pelepasan karbon di udara yang sangat besar.

Oleh sebab itu, maka skema mengatasi perubahan iklim banyak tertumpu pada upaya menjaga kelestarian hutan dengan mengurangi kerusakan hutan berupa deforestasi dan degradasi lahan. Dalam tulisan ini berikutnya memfokuskan pada isu kehutanan tersebut terutama yang berhubungan dengan skema REDD dan  kebijakan serta program kehutanan terutama GNRHL dalam mengatasi perubahan iklim dan dampaknya terhadap hak-hak masyarakat adat.

            Skema-skema Mitigasi Pemanasan Global dalam Isu Kehutanan
Terdapat dua bentuk skema mitigasi pemanasan global dalam sector kehutanan, yaitu CDM dan REDD. Dua skema tersebut bergulir seiring bergulirnya pertemuan-pertemuan para pihak (COP) di level internasional dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Berikut dijelaskan lebih lanjut dua skema tersebut : 

            Clean Development Mechanism (CDM) dalam Isu Kehutanan[15]
Kyoto Protocol menghasilkan flexibility mechanism yang berisi tiga cara utama bagi negara-negara maju untuk mencapai target pemotongan emisi karbon mereka, dengan rata-rata 5,2 % di bawah level yang ditetapkan pada tahun 1990. adapun cara tersebut adalah :

  1. Emission trading
Cara egara maju mengurangi emisi dengan membolehkan perdagangan emisi antar negara maju

  1. joint implementation
Cara negara maju mengurangi emisi karbon yang membolehkan transfer emisi antar Negara maju dan berhubungan dengan proyek-proyek pengurangan emisi yang spesifik

  1. Clean Development Mechanism (CDM)
Cara Negara maju mengurangi emisi karbon yang memberikan kesempatan bagi Negara-negara berkembang yang mengurangi atau mengasingkan CO2 dari atmosfer.

Dari skema diatas, CDM merupakan skema yang berhubungan dengan Negara-negara berkembang. Adapun tujuan CDM tersebut adalah :

  1. membantu Negara-negara berkembang yang menjadi tuan rumah proyek CDM untuk mencapai pembangunan berkelanjutan

  1. menyediakan ke Negara-negara maju fleksibilitas untuk mencapai target pengurangan emisi mereka dengan membolehkan mereka untuk mengambil kredit dari proyek pengurangan emisi yang dijalankan di Negara – Negara berkembang.

Untuk memenuhi tujuan kedua dalam CDM tersebut, pengurangan emisi Negara maju di Negara berkembang akan menghasilkan kontra – prestasi CER (Cerfificate of Emission Reduction) yang dipakai sebagai instrument untuk menghitung prestasi pengurangan atau pemotongan emisi di Negara maju tersebut. Dalam isu kehutanan, kontra perstasi CER tersebut dikenal dengan iCERs (insured cerficate emission reduction) dan tCERs (temporary certificate emission reduction) yaitu CERs yang dikeluarkan untuk proyek CDM atas aforestasi atau reforestasi hutan yang bersifat jangka panjang pada iCERs dan waktu tertentu pada tCERs.[16]

Dalam perkembangannya, mekanisme yang dijalankan dalam skema CDM ini melalui mekanisme pasar (voluntary market). Dalam skema ini, karbon diperdagangakan di antara Negara atau pihak yang memiliki kemampuan untuk mempertahankan atau menambah cadangan karbon dengan Negara atau pihak yang sulit mengurangi emisinya atau Negara pencemar / Negara maju. Negara, komunitas, perusahaan dan subjek hokum lain yang memiliki cadangan karbon mempunyai hak untuk menjual kredit polusi di pasar internasional, sedangkan Negara-negara maupun perusahaan yang mampu membeli kredit tersebut mendapatkan CER.[17]

Proyek CDM dalam prakteknya menghasilkan ancaman serius bagi komunitas / masyarakat lokal / adat di sekitar wilayah uji coba dilakukan. Salah satu contohnya adalah  proyek aforestasi dan reforestasi CDM FACE – PROFAFOR di San Sebastian de Sigsig, Ekuador yang mana FACE menyewa 400 Ha dari masyarakat adapt setempat. Dalam proyek ini, masyarakat adapt di wajibkan tidak menebang pohon tetapi di haruskan menanam sejumlah pohon dalam  jangka waktu tertentu. Sebagai konpensasinya, masyarakat adapt menerima pembayaran per hektar sejumlah $ 189 dengan total jumlahnya keseluruhan $ 75.600.  Keyataannya jumlah tersebut di kurangi oleh sejumlah potongan untuk harga tanaman dan technical assistance dengan jumlah 49 % dari total penerimaan. Selain dari itu, masyarakat juga harus membayar penalty karena di anggap melanggar kontrak dengan perusahaan sehingga masyarakat adat tersebut harus membayar sejumlah $ 75.000 atau berlipat menjadi 278 %. Dari kasus ini, penalty muncul akibat :

  1. ketidakmampuan komunitas melaksanakan penanaman pohon
  2. komunitas memanfaatkan atau menjual hasil hutan yang oleh FACE di sebut sebagai penjualan karbon yang tidak disepakati
  3. menunda deposit ke bank dari persentase jumlah penggunaan atau penjualan hasil hutan dari wilayah yang sudah disepakati (Granda, 2005).

Kasus diatas menjelaskan bahwa kontrak antara perusahaan dengan masyarakat adat di lakukan dengan tidak seimbang, karena terdapat kondisi sosial masyarakat yang tidak mempunyai kebiasaan berhubungan dengan pihak bank. Hal tersebut kemudian di pakai oleh perusahaan sebagai alat untuk menjebak masyarakat adat tersebut. Akibatnya, proyek tersebut jauh dari tujuannya untuk melahirkan manfaat bagi masyarakat adat.     
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                
3.3.2.      Reduced Emissions From Deforestasion and Degradation (REDD)
Belum tuntas mengevaluasi mekanisme CDM yang ada, pada COP 11 di Montreal, Kanada, atas usul Papua Nugini,  Kostarika dan beberapa Negara lainnya mendisain sebuah skema tentang mekanisme baru pengurangan emisi dari deforestasi  dan degradasi hutan yang kemudian di kenal dengan REDD. Usul REDD ini di bahas selama dua tahun untuk meninjau aspek saintifik yang relevan, teknik dan metodologis serta insentif untuk REDD di Negara berkembang.

Ide pokok REDD yaitu bahwa Negara yang mampu dan ingin mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan seharusnya di berikan kompensasi finansial. Skema REDD secara umum merupakan pengurangan emisi atau “deforestasi yang di hindari” di perhitungkan sebagai kredit. Jumlah kredit karbon yang di peroleh dalam waktu tertentu dapat di jual di pasar karbon internasional. Sebagai alternative, kredit yang diperoleh dapat diserahkan ke lembaga-lembaga pendanaan yang dibentuk untuk menyediakan kompenssasi finansial bagi Negara-negara peserta yang melakukan konservasi hutannya.[18] Ide tersebut disepakati dalam COP 13 di Bali, Indonesia. Kemudian, keuptusan COP 13 tentang REDD menyebutkan pendekatan kebijakan dan insentif positif untuk REDD yang mencakup tiga aspek :[19]

  1. Pilot/demonstration activities (proyek-proyek percontohan)
  2. Capacity building & technology transfer (pengembangan kapasitas dan transfer teknologi)
  3. Indicative Guidance (panduan untuk proyek-proyek pencontohan)

Tiga aspek diatas di respon oleh Negara-negara pihak melalui berbagai proposal. Berbagai proposal tersebut secara garis besar mencakup lima aspek, yaitu :[20]

  1. Scope (cakupan)
cakupan akan berdampak pada scale (skala), biaya realtif dan mitigasi potensial. Pada aspek ini berperan penting bagi kemungkinan politis pada perjanjian internasional, seperti ; sejauh mana kemampuan Negara-negara berkembang dalam melakukan pengukuran (measure), laporan (report) dan pembuktian (verify) atau yang dikenal dengan singkatan MRV. Hal tersebut muncul karena masih diperdepatkannya isu degradasi dalam ranah saitifik, baik secara metodologis, metode dan hasil perhitungannnya diantara banyak ahli

  1. Reference Level (Level Acuan)

Level acuan disebut juga baseline yaitu memastikan bagaimana pengurangan emisi diukur dengan pendekatan ilmiah yang terukur dan dapat dipercaya. Metodologi untuk level acuan tersebut masih dikerjakan hingga saat ini. Untuk melihat level emisi di ukur di gunakan scenario pengukuran berbasis warisan emisi masa lampau (historic), pelepasa emisi saat ini (current) dan prediksi kedepan (projected). Scenario ini bias dibuat untuk memprediksi jumlah emisi berdasarkan kecenderungan histories pelepasan emisi dan membuat perhitungan untuk masa depan. Hal tersebut menjadi terhadap kedalaman upaya mengurangi emisi di suatu Negara.

  1. Distribution (distribusi)

Pada aspek scope dan reference level menentukan bagaimana pengurangan emisi dilaksanakan maka benefit yang dilahirkan dari pelaksanakan itu di hitung sebagai kontra-prestasi atas upaya-upaya yang dilakukan dan pengembalian sumber daya yang dikeluarkan. Hal ini berhubungan penghitungan emisi dan stok karbon sebagai asset bagi kalkulasi dsitribusi. Misalnya; luasnya tutupan hutan (forest cover) memperbesar cadangan karbon yang berakibat pada benefit yang diterima juga semakin besar.

  1. Financing (pembiayaan)

Pembiayaan menyangkut pembiayaan sukarela dan mekanisme pasar pendanaan karbon (direct market). Dalam konteks pembiayaan sukarela, dapat dilakukan pada skala nasional maupun internasional. Misalnya ; ADB (Asian Development Bank) berkomitmen mendukung pembiyaan 100 juta dolar AS untuk pendanaan karbon paska 2012, baik yang dilakukan oleh mitra pemerintah maupun oleh swasta yang digunakan untuk menolong mitigasi energi terbarukan (renewable energy), efisiensi energi (energy efficiency), GRK pada Negara-negara dalam kategori berkembang. Sedangkan dalam mekanisme pasar pendanaan karbon yaitu tanpa melewati pintu organisasi-organisasi ataupun lembaga-lembaga public, terutama Negara. Sejumlah bank swasta menjadi pemain utama dari mekanisme ini.   

  1. Scale (skala)

Skala berhubungan dengan cakupan, referensi dan pembiayaan, namun juga berhubungan dengan politik. Pilihan pada skala nasional dan sub nasional tergantung pada kekuasaan Negara sebagai para pihak dalam perjanjian internasional tentang perubahan iklim ini, sementara komunitas dan pihak lain disebut sebagai stakeholders yang akan menjadi sayap para pihak.

4.      Hak masyarakat adat dalam kebijakan nasional
Berbagai perlindungan hukum terhadap masyarakat adat sebenarnya telah lahir seiring dengan bergulirnya reformasi. Diawali dengan penguatan perlindungan  Konstitusional pada pasal 18 B ayat (2) dan pasal 28 I ayat (3) UUD 1945, yang kemudian diikuti oleh berbagai peratutan perundang-undangan, seperti UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM (pasal 6), UU nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan lain-lain. Dalam konteks pengelolaan sumber daya alam, peraturan perundang-undangan tersebut juga mengatur tentang masyarakat adat dan hak-haknya, berikut akan dijelaskan secara lebih rinci analisis teks berbagai peraturan perundang-undangan tersebut :

4.1.            Undang-Undang Dasar 1945

Merupakan konsep dasar bagi perlindungan masyarakat adat. Dalam  UUD 1945 pasca amandemen ada beberapa ketentuan yang berhubungan dengan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Pertama, Pasal 18 B Ayat (2), bunyinya sebagai berikut:

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

            Kedua, Pasal 28 I Ayat (3) yang menyatakan bahwa:
Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Pasal 18 B Ayat (2) merupakan pengakuan negara terhadap masyarakat hukum adat dan hak-haknya. Penyebutan hak tradisional menunjukkan bahwa hak itu merupakan sesuatu yang melekat secara historis dengan masyarakat hukum adat. Pengakuan yang diberikan oleh negara ini seharusnya bisa menjadi peluang bagi masyarakat hukum adat untuk memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam yang mereka miliki.

Dalam kaitannya dengan pengakuan, UUD 1945 menyebut beberapa persyaratan: pertama, sepanjang masih hidup; kedua, sesuai perkembangan masyarakat; ketiga, prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; keempat, diatur dalam undang-undang. Disisi lain, UUD 1945 juga menyebut syarat ”selaras dengan perkembangan jaman dan peradaban” untuk istilah masyarakat tradisional tetapi tidak disertai penjelasan, apakah istilah ini sama dengan atau merupakan sebutan lain dari masyarakat hukum adat.

4.2.            Undang-Undang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Tidak bisa dipungkiri bahwa UUPA adalah salah satu peletak dasar konsep dari materi pengaturan mengenai pengakuan masyarakat hukum adat. Dalam UUPA ada beberapa ketentuan yang juga berhubungan dengan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, walaupun masih ada syarat yang ditetapkan bagi masyarakat hukum adat.

Pertama, Pasal 3 berbunyi sebagai berikut :
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Kedua, Pasal 5 yang berbunyi sebagai berikut :
Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

Hukum agraria sekarang ini masih mempunyai “dualisme” dan mengadakan perbedaan antara hak-hak tanah menurut hukum adat dan hak-hak tanah menurut hukum barat, yang berpokok pada ketentuan-ketentuan dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia. Undang-Undang Pokok Agraria bermaksud menghilangkan dualisme itu dan secara sadar hendak mengadakan kesatuan hukum, sesuai dengan keinginan rakyat sebagai yang satu dan sesuai dengan kepentingan perekonomian.

Dengan sendirinya agrarian baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk pada hukum adat, maka hukum agrarian yang baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam Negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia International, serta sesuai dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana di Maklumi maka hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat colonial yang kapitalistis dan masyarakat swapraja yang feodal.

5.        Hak Masayarakat Adat dalam Kebijakan Kehutanan

5.1.UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK)
UUK tidak memberikan penjelasan yang tegas mengenai perbedaan istilah masyarakat hukum adat dengan masyarakat setempat. Sangat riskan menyimpulkan bahwa hak-hak masyarakat setempat merupakan hak berian, sedangkan untuk masyarakat adat sendiri merupakan hak bawaan. Dalam UUK sangat spekulatif, kajian ini menggunakan metode interpretasi dalam menyimpulkan masyarakat adat sebagai bagian dari masyarakat setempat.

Pertama, Pasal 17 Ayat (2)  bunyinya sebagai berikut:

Pembentukan wilayah pengelolahan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan.

Kedua, Pasal 22 Ayat (2) berbunyi:
Tata hutan merupakan kegiatan rancang bangun unit pengelolaan hutan, yang dalam pelaksanaannya memperhatikan hak-hak masyarakat setempat, yang lahir dalam pelaksanaannya memperhatikan hak-hak masyarakat setempat, yang lahir karena kesejahteraan, dan keadaan hutan.

Ketiga, Pasal 4 Ayat (3) meneruskan sebagai berikut:
Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaanya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

Bunyi Pasal 17 Ayat (2) menyiratkan bahwa masyarakat hukum adat merupakan bagian dari masyarakat setempat. Kemudian, Penjelasan Pasal 22 Ayat (2) menegaskan lagi pemahaman semacam ini, yang mengatakan bahwa hak-hak masyarakat setempat adalah yang lahir karena kesejarahan atau lahir karena diasalkan dari masa lalu yang diteruskan karena pewarisan. Dengan uraian seperti di atas, tulisan ini memaksudkan hak masyarakat lokal atas sumberdaya hutan, baik hak bawaan maupun hak berian, dengan tekanan pada ulasan mengenai hak bawaan.

Sebenarnya UUK menunjukkan semangat mengutamakan kepedulian terhadap rakyat, hal ini bisa dilihat dari bagian menimbang UU ini yaitu menimbang bahwa hutan harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan pengurusan hutan harus dilakukan dengan menampung, dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat. Semangat ini masih diteruskan ketika dikatakan bahwa salah satu asas penyelenggaraan kehutanan adalah kerakyatan. Namun, semangat itu tetap saja harus mematuhi konsep politik hukum (legal politic concept) yang mengatakan bahwa sumberdaya hutan dikuasai oleh negara, kekuasaan tersebut kemudian diserahkan kepada pemerintah.

Pernyataan UUK tentang hutan adat bukanlah dalam bentuk pengakuan melainkan lebih pada pembatasan bahwa hak masyarakat hukum adat atas sumberdaya hutan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional (Pasal 4 Ayat (3)). Ketentuan ini menyiratkan bahwa hak-hak masyarakat hukum adat tidak selamanya serasi dengan kepentingan nasional.  Artinya pelaksanaan  hak masyarakat hukum adat atas hutan dapat saja bertentangan dengan kepentingan nasional.

5.2.            PP No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan.

Dalam PP ini juga memberikan peluang kepada masyarakat dalam melakukan pengelolaan hutan, terutama yang tercantum dalam pasal, Pasal 87 Ayat (1) berbunyi sebagai berikut:

Pemerdayaan masyarakat setempat melalui hutan desa dilakukan dengan memberikan hak pengelolaan lembaga desa.

Pasal 87 Ayat (2) berbunyi :

Hak pengelolaan hutan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan tata areal, penyusunan rencana pengelolaan areal, pemanfaatan hutan serta rehabilitasi dan perlindungan hutan.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       
6.        Hak masyarakat adat dalam kebijakan daerah Di Sumatera Barat (Perda Nagari, Perda Tanah Ulayat)

6.1.      Perda No. 2 tahun 2007 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari

Sebelum kita lihat tentang bagaimana perlindungan terhadap masyarakat hukum adat dalam Perda ini ada baiknya dilihat dulu latar belakang dan beberapa perubahan kebijakan yang terjadi. Sejak zaman reformasi terjadi perubahan yang signifikan dalam kebijakan di Indonesia yang fokus terhadap otonomi daerah. Hal ini diawali oleh UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Pemerintah Sumatera Barat menindaklanjutinya dengan Perda No. 9 tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari. Kemudian Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah dirubah Undang-undang No. 32 tahun 2004 demikian juga ditingkat propinsi dengan Perda No. 2 tahun 2007. Dari berbagai perubahan tersebut maka pemerintah Propinsi Sumatera Barat salah satu propinsi di Indonesia yang mempelopori gerakan untuk kembali ke sistem pemerintahan lokal.[21] Pemerintahan lokal yang dimaksud adalah Pemerintahan Nagari dan sekarang merupakan unit pemerintahan terendah. Kalau dilihat pemerintah propinsi Sumetera Barat ada beberapa pertimbangan untuk mengambil langkah kembali kepemerintahan nagari yaitu:

1.      Keinginan untuk kembali ke pemerintahan nagari dianggap merupakan aspirasi seluruh masyarakat Sumatera Barat dengan pengecualian masyarakat di Kabupaten Mentawai yang memiliki struktur sosial dan kebudayaan yang berbeda.

2.      Masyarakat Sumatera Barat dianggap homogen sehingga pengaturan mengenai pemerintahan nagari dianggap sebagai urusan yang lintas kabupaten.

3.      Pengaturan oleh propinsi hanya bersifat memfasilitasi sehingga pengaturan lebih lanjut dan khusus diserahkan kepada kabupaten/kota masing-masing.

4.      Pengaturan oleh propinsi akan bisa meningkatkan posisi tawar nagari terhadap pemerintah, khususnya pemerintah kabupaten. Selama ini desa secara struktural dianggap berada di bawah pemerintah kabupaten, dan

5.      Pengaturan oleh propinsi diarahkan untuk menciptakan suasana demokratis dan wacana pemikiran yang lebih luas.[22]

Perda Sumatera Barat No. 2 Tahun 2007 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari Perda ini memberikan peluang kepada masyarakat hukum adat dalam pengelolaan hutan nagari dan pengakuanya terhadap masyarakat adat, Pengaturannya bisa dilihat pada:

Pasal 1 Angka (7) yang menyatakan bahwa:
Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat vang memiliki batas-batas wilayah tertentu, clan berwenang untuk mengatur clan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul Adat Minangkabau (Adat basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah) dan atau berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat.

Pasal 3 Wilayah Nagari, meliputi wilayah hukum adat dengan batas-batas tertentu yang sudah berlaku secara turun temurun dan diakui sepanjang adat

Pasal 14 (3) Peraturan Nagari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat nagari setempat

Pasal 16 Huruf (d) yang menyatakan bahwa:
Tanah, hutan, sungai, kolam clan /atau laut yang menjadi ulayat nagari.

Pasal 17 Ayat (1) yang menyatakan bahwa:
Pemanfaatan dan pengelolaan harta kekayaan nagari dilaksanakan oleh Pemerintah Nagari berdasarkan Peraturan Nagari.

Pasal 18 (1) Harta kekayaan Nagari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 yang dikelola oleh pihak lain, setelah masa pengelolaannya berakhir dikembalikan kepada Nagari. (2) Harta Kekayaan Nagari yang dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota dapat diatur kembali pemanfaatannya dengan memperhatikan kepentingan nagari. (3) Pengelolaan, pemanfaatan dan pembagian hasil harta kekayaan nagari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Keluarnya Perda No. 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari ini secara tidak langsung pemerintahan daerah Sumatera Barat sudah mendeklarasikan nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat. Pasal 1 Angka (7) sebenarnya sudah memberikan peluang kepada masyarakat hukum adat untuk bisa mengatur dan mengelola assetnya sendiri. Walaupun peluang sudah diberikan kepada masyarakat hukum adat namun persoalan untuk penguatan hak tenurial adat ini masih belum tegas dan masih ketatnya syarat-syarat yang harus harus disertakan bagi eksistensi tenurial adat.

6.2.      Perda No. 6 tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya

Terlepas dari plus dan minus perda ini dan jalan panjang pengesahan Perda tanah ulayat dan pemanfaatanya di Sumatera Barat, paling tidak memberikan kekuatan hukum bagi pengakuan masyarakat adat di Sumatera Barat. Ada Beberapa catatan penting dalam perda ini, yaitu ;

Pasal 1 (5) Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam Provinsi Sumatera Barat yang terdiri dari suku dan kumpulan suku-suku, mempunyai wilayah dengan batas-batas tertentu. (6) Hak ulayat adalah hak penguasaan hak milik atas bidang tanah beserta kekayaan alam yang ada di atas dan di dalamnya dikuasai secara kolektif oleh masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Barat. (7) Tanah ulayat adalah sebidang tanah pusaka beserta sumber daya alam yang ada di atasnya dan di dalamnya diperoleh secara turun temurun merupakan hak masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Barat.
Dari Pasal  1 diatas menunjukkan bahwa Perda ini memberikan perlindungan terhadap masyarakat dimana nagari sebagai subyek dan masyarakat sebagai objek yang akan menerima pemanfaatan dan sebagai penguasa dari ulayat iru sendiri. Apabila ulayatnya diakui maka secara otomatis akan memberikan pengakuan kepada masyarakat adat yang ada.

Pasal 9 ayat (1) Perda TUP menyatakan bahwa pemanfaatan tanah ulayat oleh anggota masyarakat dapat dilakukan atas sepengetahuan dan seizin penguasa ulayat yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku. Artinya, pemanfaatan tanah ulayat oleh anggota masyarakat adat yang bersangkutan, dilakukan berdasarkan hukum adat, yang dapat berbeda-beda antar nagari.

Izin pemanfaatan tanah ulayat diberikan penguasa ulayat. Untuk ulayat nagari, izin diberikan oleh KAN. Untuk tanah ulayat kaum, izin tersebut bernama ganggam bauntuak, yang merupakan metode pembagian tanah milik kaum kepada anggota atau kelompok anggotanya (paruik/jurai), baik untuk pertanian (sawah dan ladang) maupun sebagai tempat tinggal. Pembagian ini bukan untuk dimiliki secara individu,  tetapi hanya untuk dipakai dan dimanfaatkan demi kelangsungan hidup para anggotanya. Ganggam bauntuak hanya diperuntukkan bagi si perempuan atau jurai, sesuai dengan sistem matrilineal. Laki-laki tidak berhak atas tanah ganggam bauntuak. Ninik mamak, Mamak Kepala Waris dan laki-laki lainnya, bertugas mengawasi penggunaan dan pemanfaatan tanah tersebut demi kelangsungan hidup saudara-saudara perempuan dan anak kemenakan dari saudara perempuan itu.

Pasal 9 ayat (2) Perda TUP menyebutkan pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan umum dapat dilakukan dengan cara penyerahan tanah oleh penguasa dan pemilik ulayat berdasarkan kesepakatan anggota masyarakat adat yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Disini terlihat bahwa kalau seandainya tanah ulayat diperlukan untuk kepentingan umum maka pemerintah harus mendapat persetujuan terlebih dahulu oleh pemilik ulayat/anggota masyarakat adat apabila akan digunakan sebagai alasan kepentingan umum. Dari bunyi pasal ini persetujuan oleh pemilik ulayat merupakan syarat utama, sehingga dalam pelaksanaan kalau ada yang tidak memenuhi ketentuan ini maka secara otomatis pemerintah tidak bisa melakukan pembangunan. Maka pemerintah harus transparan dalam memberikan informasi sehingga apa yang dimaksudkan dengan kepentingan umum itu jelas dan bukan mengatas namakan kepentingan pribadi/beberapa pihak saja dijadikan sebagai alasan kepentingan umum, sehingga pengakuan dan keterlibatan masyarakat dalam perda inilah yang diharapkan.

Pasal 11 menyatakan bahwa “ Apabila perjanjian penyerahan hak penguasaan dan atau hak milik untuk pengusahaan dan pengelolaan tanah yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 berakhir, maka status penguasaan dan atau kepemilikan tanah kembali ke bentuk semula”.

Frasa  “kembali ke bentuk semula” memberikan penafsiran yang jamak. Aapakah tanah ulayat nagari yang didaftarkan sebagai HGU, Hak Pakai atau Hak Pengelolaan, setelah perjanjian dengan investor berakhir, tanah tersebut akan kembali menjadi tanah ulayat yang dikuasai oleh KAN atau akan menjadi HGU, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan yang dikuasai langsung oleh Pemerintah.  Walaupun demikian tetapi ini merupakan isyarat bahwa kembali kebentuk semula adalah kembali kemasyarakat adat walaupun banyak proses yang harus dilalaui sampai tanah ulayat bekas pemanfaatan itu bisa kembali kebntuk semula tersebut.  

7.        Kebijakan Pencegahan Kerusakan Hutan Dan Mitigasi Pemanasan Global

Kerusakan hutan alam di indonesia dan propinsi sumatera barat pada khususnya dalam kondisi yang serius. Berbagai bencana ekologis muncul seiring dengan kerusakan tersebut, seperti; banjir, longsor dan lain-lain. Secara lebih luas, kegagalan pengelolaan hutan itu di sebabkan oleh dua hal, yaitu ; pertama,  akibat mismanajemen pengelolaan hutan, yaitu gagalnya pengelolaan hutan berbasis negara dan modal yang selama ini dianut sehingga berakibat pada tidak terkontrolnya eksploitasi hutan secara besar-besaran oleh industri-industri kehutanan, kedua,  persoalan legalitas hak di kawasan hutan, yaitu; persoalan legalitas hak masyarakat adat (ulayat / hutan adat) di dalam kawasan hutan, berupa ; pengambilan sepihak hutan adat oleh pemilik modal dan persoalan tumpang tindih hutan negara dengan hutan adat. Dari dua hal tersebut, akibat yang dimunculkan dari persoalan kehutanan bukan hanya pada besarnya kerusakan hutan yang terjadi tapi juga persoalan-persoalan sosial-ekonomi, terutama bagi masyarakat (masyarakat adat) yang hidup di dalam / disekitar kawasan hutan, seperti; konflik sosial dan pemiskinan masyarakat.

Seiring dengan itu, peran hutan sebagai penyeimbang ekosistem signifikan bagi kehidupan masyarakat sekitar dan juga bagi umat manusia, terutama dalam hal mitigasi perubahan iklim.  Respon pemerintah dalam mengatasi hal ini masih dilakukan secara parsial dengan kebijakan-kebijakan penghutanan kembali dan pencegahan deforestasi / degradasi hutan tanpa membongkar persoalan utamanya. Kebijakan tersebut kemudian diimplementasikan pada program reboisasi dan GNRHL dan yang terbaru adalah REDD. Pembahasan tentang reboisasi / GNRHL dan REDD akan dibahas pada sub bab masing-masing di bawah ini ;


7.1.            Program Kehutanan Untuk Mencegah Kerusakan Hutan Dan Lahan (GNRHL)

Program gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan (GNRHL) dicanangkan pada saat tingkat kerusakan hutan sudah sangat mengkhawatirkan.  Berbagai bentuk bencana ekologis seperti banjir, tanah longsor, kekeringan dan bencana lainnya yang ditengarai sebagai akibat dari kerusakan hutan dan lahan sudah berulang kali dibanyak tempat. Pada tahun 2002 total luas lahan yang perlu direhabilitasi berkisar 96,3 juta ha, dengan perincian 54,6 juta ha di dalam kawasan hutan, dan 41,7 juta ha di luar kawasan hutan.

Sedangkan jumlah DAS kritis yang seharusnya menjadi lokasi GNRHL kurang lebih 77,8 juta ha, dengan tingkat kekritisan 47,6 juta ha agak krtitis, 23,3 juta ha kritis dan 6,8 juta ha sangat kritis. Besarnya angka luasan hutan dan lahan yang kritis selain memperlihatkan pola pengelolaan hutan dan lahan yang eksploitatif baik terhadap kayu maupun terhadap material lain yang terdapat di dalam tanah, sekaligus memperlihatkan aspek kegagalan kegiatan perlindungan dan penghutanan kembali lahan-lahan yang sudah mengalami degradasi dan deforestasi.  

Parahnya tingkat degradasi hutan dan lahan, yang ditengarai mencapai 43 juta ha, dengan kisaran laju deforestasi sebesar 1,6 – 2 juta ha pertahun (Kep. Menko Kesra No. 18/KEP/MENKO/KESRA/X/2003), mungkin bisa disebut sebagai fakta yang dapat mengkonfirmasi tentang belum optimalnya kegiatan perlindungan hutan dan reforestasi yang selama ini dilakukan. Tanpa menyampingkan penyebab lain yang mengakibatkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan tidak maksimal, program GNRHL bisa disebut mengandaikan ’salah satu” penyebab kegagalan tersebut adalah tidak terkoordinasinya antar berbagai sektor dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, yang sebelumnya hanya dikelola secara sektoral oleh depertemen kehutanan dan dinas kehutanan di daerah. GNRHL hendak menjadikan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan sebagai gerakan nasional, dimana setiap sektor diasumsikan akan berkontribusi sesuai dengan lingkup kewenangan dan konpetensi institusi masing-masing.

Niatan ini terbaca dalam bagian latar belakang Keputusan Menko Kesra No. 18/KEP/MENKO/KESRA/X/2003,yang menyebutkan ”dengan mengingat rehabilitasi hutan dan lahan sebagai sesuatu yang sangat strategis bagi kepentingan nasional, maka rehabilitasi hutan dan lahan hendak diarahkan sebagai sebuah gerakan yang berskala nasional yang dilakukan dengan terencana dan terpadu.”



A.    Kelembagaan GNRHL

Untuk memberi kerangka legal terhadap aspek keterpaduan dalam kegiatan ini, Menko Kesra mengeluarkan SK No. 18/KEP/MENKO/KESRA/X/2003, yang salah satu isinya mengatur tentang pengorganisasian Gerakan Nasional rehabilitasi Hutan dan Lahan dengan membentuk berbagai tim. Selain Keputusan Menko Kesra ini, Menteri Kehunanan juga mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-V/2004, yang salah satu lampirannya mengatur mengenai kelembagaan. Pada intinya Keputusan Menko Kesra dan Peraturan Menteri Kehutanan tersebut mengatur kelembagaan GNRHL sebagai berikut:

1. Tim Koordinasi perbaikan Lingkungan melalui rehabilitasi dan Reboisasi nasional
Tim ini terdiri dari Pengarah yang diisi oleh 3 (tiga) Menteri Koordinator yaitu Menko Kesra, Menko Perekonomian dan menko Polkam. Selanjutnya ada ketua yang langsung dijabat oleh Menko Kesra dengan wakil ketuanya Menteri Kehutanan dan Menteri Lingkungan Hidup. Seketaris dijabat oleh Sekretaris Bakornas dan wakil sekretaris dijabat oleh Staf Ahli Menteri Kehutanan bidang strategi pembangunan kehutanan. Tim koordinasi ini juga berisi dua kelompok kerja yaitu kelompok kerja pencegahan kerusakan lingkungan yang personilnya terdiri dari Menteri Negara lingkungan Hidup sebagai ketua, Menteri Kehakiman dan HAM dan Kepala kepolisian RI. Kelompok kerja kedua adalah kelompok kerja penanaman hutan dan rehabilitasi. Kelompok kerja ini terdiri dari Menteri kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan Nasinal, Menteri Negara Riset dan Teknologi, Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Menteri Keuangan dan Panglima TNI. Dua kelompok kerja ini sesuai dengan ruang lingkup GNRHL yaitu kegiatan pencegahan perusakan lingkungan dan kegiatan penanaman hutan dan rehabilitasi.

2.  Tim Pengendali
Tim ini terdiri dari Tim pengendali tingkat pusat dan tim pengendali tingkat propinsi. Tim pengendali tingkat pusat keanggotaannya terdiri dari Kementerian / Departemen / Non departemen / Lembaga yang terkait dalam penyelenggaraan GNRHL. Tim ini bertugas untuk melakukakan koordinasi, menyelenggarakkan kesekretariatan, menyiapkan bahan kebijakan, membina tim pengendali tingkat propinsi dan kabupaten / kota, memantau dan mengevaluasi serta melaporkan hasil-hasil pengendalian penyelenggaraan GNRHL.
 
Sedangkan tim pengendali tingkat propinsi diketuai langsung oleh gubernur dengan keanggotaan yang terdiri dari unsur kehutanan, kanwil Ditjen anggaran, Lingkungan hidup, Pertanian, Kimpraswil, Pendidikan, Pertanahan, TNI dan Kepolisian RI, Kejaksaan Tinggi dan LSM. Tim ini bertugas untuk melakukan koordinasi, mendorong partisipasi, pembinaan, pemantauan dan evaluasi serta melaporkan hasil pengendalian penyelenggaraan GNRHL di wilayahnya. Dalam operasionalnya tim ini dibantu oleh sekretariat. Output kerja tim ini antara lain adalah terbitnya SK tim pengendali oleh gubernur, Terlaksananya penyebarluasan informasi GNRHL, rapat-rapat koordinasi, terbitnya pedoman/petunjuk pelaksanaan secara spsifik wilayah, terlaksananya pemantauan dan bimbingan teknis ke lapangan, tersusunnya laporan kegiatan (semesteran dan tahunan) ke pusat.

3. Tim Pembina
Dikabupaten dibentuk tim pembina yang secara langsung diketuai oleh bupati yang bertanggungjawab atas pelaksanaan GNRHL di lapangan. Tim ini beranggotakan Dinas Teknis yang mengurusi kehutanan (Dinas kehutanan), instansi terkait lainnya, KODIM, POLRES, Kejaksaan Negeri dan LSM. Tim ini bertugas untuk melaksanakan sosialisasi dan penyebarluasan informasi, bimbingan teknis, pelaksanaan kegiatan fisik lapangan, pengawasan dan pengendalian serta melaporkan hasil pelaksanaan GNRHL di wilayahnya. Dalam operasional sehari-hari, tim ini dibantu oleh sekretariat. Output kerja tim ini antara lain adalah terbitnya SK tim pengendali oleh Bupati, Terlaksananya penyebarluasan informasi GNRHL, rapat-rapat koordinasi, terbitnya petunjuk teknis / manual kegiatan secara spsifik wilayah, terlaksananya pemantauan dan bimbingan teknis ke lapangan, tersusunnya laporan kegiatan (semesteran dan tahunan) ke pusat.

4. Kelompok Tani
Adanya kelompok tani sebagai pelaku GNRHL menjadi pembeda yang mendasar antara GNRHL dengan kegiatan RHL sebelumnya. Keelompok tani ini bertanggungnjawab atas pelaksanaan hutan rakyat, pembuatan bangunan konservasi tanah dan rehabilitasi hutan mangrove di lahan miliknya. Selain itu juga dapat bekerja sama dengan dinas kehutanan dalam pelaksanaan reboisasi. Output kerja yang harus dipenuhi oleh kelompok tani ini adalah terbentuknya kelompok yang dilengkapi dengan susunan pengurus serta kelengkapan administrassi kelompok, tersusunnya rencana defenitif kelompok dan rencana defenitif kebutuhan kelompok, tersusunya kesepakatan kelompok dalam pelaksanaan GNRHL, terlaksananya pengelolaan dana kegiatan, terlaksanannya penyiapan lahan, terlaksananya distribusi bibit, terlaksananya penenaman dan bangunan konservassi tanah dan terbentuknya jaringan kerja antara kelompok dengan pemerintah, swasta dan pihak terkait lainnya dalam penyediaan sarana produksi dan alih teknologi

5. Pendamping Kelompok Tani
Ada dua  sifat pendampingan terhadap kelompok tani pelaksana GNRHL. Yang pertama adalah pendampingan untuk penguatan  kelembagaan kelompok dan kelembagaan usaha. Pendampingan ini bisa dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Tenaga kerja sarjana Terdidik, Tenaga Kerja Sosial, Organisasi peduli lingkungan seperti kelompok Pencinta Alam, Kader konservasi Alam dan organisasi lain yang dipandang mampu. Peran ini diberikan kepada LSM dan kelompok-kelompok tersebut karena karena kelompok-kelompok tersebut dipandang sebagai lembaga non pemerintah yang mandiri serta bertujuan nyata untuk membantu pemerintah dan masyarakat. Untuk menjalani peran tersebut, pendamping bertugas untuk mengembangkan partisipasi, sikap, pengatahuan dan keterampilan kelompok tani. LSM yang memenuhi syarat untuk ditunjuk menjadi pendamping harus terdaftar pada instansi yang berwenang, bergerak dalam bidang kehutanan dan pelestarian lingkungan serta memahami GNRHL, memiliki tenaga pendamping yang terlatih dan berpengalaman, memiliki peralatan yang diperlukan dan disetujui oleh kelompok tani. LSM yang memenuhi syarat-syarat ini diajukan kepada Bupati untuk ditetapkan sebagai pendamping GNRHL di wilayahnya.

Pendampingan kedua adalah pendampingan yang bersifat teknis pembuatan tanaman, pembersihan lahan, pembuatan lobang, pemasangan ajir, pemeliharaan bibit, penanaman, penyulaman dan lain-lain. Pendampingan ini dilakukan oleh Penyuluh Kehutanan Lapangan dan teknisi kehutanan lainnya. .

6. BUMN, BUMS dan Koperasi
Kelompok ini merupakan pelaku ekonomi yang diharapkan perperan dalam GNRHL melalui hubungan kemitraan yang sejajar dan saling menguntungkan dengan kelompok tani, pemerintah dan pemda, dalam suatu kerja sama yang berjangka panjang. Kerjasama yang diharapkan terjalin antara BUMN, BUMS dan koperasi adalah penyediaan sarana produksi usaha yani, informasi dan akses pasar, bimbingan usaha produktif, bantuan permodalan dan dukungan teknologi.

B.     Perencanaan GNRHL

Rencana Rehabilitasi hutan dan lahan disusun secara hirarkhis atau berjenjang. Ditingkat nasional disusun Rencana umum Rehabilitasi hutan dan Lahan yang berjangka waktu 15 tahun. Dalam skema perencanaan pemerintah, Rencana Umum RHL ini bisa disebut sebagai Program jangka panjang rehabilitasi Hutan dan lahan. Setelah itu disusun Rencana Lima tahunan rehabilitasi hutan dan lahan sebagai program jangka menengah dan rencana tahunan rehablitasi Hutan dan Lahan sebagai rencana jangka pendek.

1. Rencana Umum Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Pola umum ini diatur di dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.20/Menhut-V/2001. Meskipun SK ini keluar sebelum GNRHL dicanangkan, program GNRHL menjadikan keputusan ini sebagai dasar perumusan pola umum rehabilitasi hutan dan lahan. Pola Umum RHL ini berisi pendekatan dasar dalam fase prakondisi dan fase aksi. Pendekatan yang digunakan adalah mencoba memaksimalkan dukungan dan komitmen politik serta mengakomodasi tekanan global sebagai peluang. Dalam aspek kesatuan pengelolaan digunakan pendekatan ekosistem dalam kerangka pengelolaan DAS dengan memperhatikan keanekaragaman jenis. Sedangkan dari segi aktor dan stakholders digunakan pendekatan capacity building kelembagaan pemerintah, masyarakat dan kelembagaan ekonomi dan sosial budaya. Capacity building ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan organisasi, meningkatkan kesempatan ekonomi, kesesuaian sosial budaya dan teknologi lokal, serta kepastian hukum penguasaan lahan untuk kelangsungan penggunaan dan pengelolaannya :(Pedoman Teknis GN-RHL).

Pola umum RHL ini juga menetapkan prinsip-prinsip yang dirasakan cukup memberikan harapan terhadap potensi keberhasilan GN-RHL. Beberapa prinsip yang secara politik dipandang memperlihatkan kemajuan, terutama dalam memberikan porsi dan posisi bagi peran serta masyarakat adalah prinsip mejadikan RHL sebagai bagian kebutuhan masyarakat dan prinsip memaksimalkan inisiatif masyarakat, teknologi lokal dan kinerja manajemen yang akuntabel. Prinsip ini yang dicoba diterjemahkan dalam pola penyelenggaraan pada fase aksi dengan memaksimumkan inisiatif masyarakat, teknologi lokal dalam manajemen rehabilitasi. Namun pada pola relasi ini, pengingkaran terhadap prinsip ini sudah mulai kelihatan dengan menerapkan pola yang lebih mengutamakan hasil dari pada proses. Pengutamaan pada hasil akan bisa memperkecil runag partisipasi masyarakat.

2.  Rencana Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) 5 Tahunan

Rencana ini disusun oleh daerah berdasarkan kerusakan hutan dn lahan di wilayah kerja BP DAS, yang secara indikatif menjadi prioritas untuk direhabilitasi selama 5 (lima) tahun. Rencana RHL 5 tahunan ini merupakan rencana teknis semi detail yang disusun berdasarkan unit DAS diseluruh wilayah kerja BPDAS dengan kedalaman analisisi tingkat Sub DAS. Rencana RHL 5 tahunan ini berisi:

  1. Sasaran lokasi kegiatan RHL yang bisa dilakukan di dalam dan di luar kawasan hutan negara. Sasaran lokasi dalam kawasan hutan negara adalah hutan konservasi, hutan lindung yang terdeforestasi dan hutan produksi yang tanahnya miskin (kritis) yang tidak dibebani hak atau tidak dicadangkan untuk pembangunan hutan tanaman. Sedangkan yang diluar kawasan hutan bisa dilakukan pada lahan milik.
  2. Sasaran Areal RHL, yang ditentukan menurut kriteria:
§  Urutan prioritas DAS/Sub DAS yang ditentukan menurut tingkat kekritisan sebagaimana ditetapkan dalam SK Menhut No. 284/KPTS-II/2009
§  Hasil indikatif rehabilitasi hutan dan lahan yang diinterpretasi dari  citra satelit dan data lahan kritis yang diverifikasi dengan pengecekan lapangan
§  Kerawanan bencana yang diindikasikan dari frekuensi banjir, tanah longsor dan kekeringan diwilayah DAS pada 3 tahun terakhir, terjadinya tsunami atau abrasi air laut di daerah pantai yang nyata atau potensial menimbulkan bencana bagi manusia
§  Perlindungan bangunan vital di DAS untuk kehidupan  masyarakat
  1. Pertimbangan teknis manejerial, yang antara lain harus memperhatikan aspek kesiapan kelembagaan daerah dan masyarakat, komitmn daerah, sumber daya lain yang tersedia serta pertimbangan khusus bagi daerah yang masih bersengketa.
  2. Metode perencanaan dilakukan dengan cara penginderaan jarak jauh dengan teknik analisis spatial, dengan menginterpretasikan citra satelit dan peta dasar,overlay peta-peta tematik dan administratif. Metode deskriptif digunakan untuk menganalisis data-data kualitatif dan numerik. Survey lapangan dilakukan untuk memperoleh akurasi data lapangan.  
  3. Mekanisme perencanaan dilkukan secara terpadu yang melibatkan BP DAS, Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan instensi terkait
  4. Spesifikasi rencana, yang disusun menurut fungsi kawasan hutan negara dan di luar kawasan hutan negara sesuai dengan fungsi kawasannya dan unit pengelola arealnya, yang dijabarkan menurut wilayah sasaran, sasaran indikatif luas RHL (total sasaran, sasaran 5 tahun dan proyeksi tahunan) yang dipetakan dalam skala 1:50.00 s/d 1:100.000.

3.      Rencana Teknik Tahunan (RTT)

RTT ini merupakan rencana fisik semi detail dalam pembuatan tanaman didalam dan di luar kawasan hutan dan bangunan kon servasi tanah setiap tahun pada satu atau lebih DAS dalam wilayah kabupaten/kota. Dalam RTT ini berisi tentang letak kegiatan RHL dalam wilayah kabypaten/kota, DAS/Sub DAS, luas lahan kritis, lokasi dan volume kegiatan menurut fungsi kawasan hutan dan pola penyelengaraan, jenis kegiatan, kondisi fisik lapangan, pola perlakuan, sarana prasarana, jenis tanaman dan jumlah bibit perkegiatan. Tanggungjawab penyusunan RTT ini berada di Dinas Kehutanan kabupaten/Kota. Rencana Teknik RHL 5 tahunan digunakan sebagai acuan yang digambarkan dalam peta rencana dengan skala 1:25.000. Rancangannnay disiapkan oleh Sub Dinas Perencanaan atau program untuk disetujui oleh Kepala Dinas kehutanan. Seterusnya disampaikan kepada Kepala BP DAS yang selanjutnya akan melakukan pencermatan/pementapan bersama oleh BP DAS dan instansi penyusun. Jika disepakati BP DAS membuat rekap dan menandantanganinya bersama Kepala Dinas Kehutanan.

4. Rencana Teknis Kegiatan

Rancangan ini berisi tentang rancangan kegiatan untuk setiap jenis kegiatan. Misalnya rancangan teknis kegiatan pembuatan tanaman reboisasi hutan lindung dan hutan produksi, rehabilitasi hutan mangrove, hutan rakyat, hutan kota, turus jalan dan bangunan konservasi tanah. Rancangan kegiatan ini berisi rancangan fisik dan rancangan biaya . Rancangan ini dituangkan kedalam buku rancangan dan dilampiri dengan peta rancangan dan peta situasi. Rancangan teknis kegiatan inis udah sangat mikro pada tingkat penggambaran lokasi (propinsi, kabupaten/kota/Kecamatan/KPH/RPH, desa/kelurahan, DAS, register kawasan hutan, status kawasan, bolk,petak dan anak petak). Rencana teknis kegiatan ini juga sudah sangat detail mencantumkan uraian kegiatan mulai dari jenis kegiatan, risalah fisik lapangan, target luas, cara pembuatan, jumlah dan jenis tanaman/bangunan, bahan dan peralatan kerja, tenaga kerja dan jadwal waktu. Juga sudah memuat situasi lapangan berupa batas luar dan batas petak, bangunan alam, atat letak tanaman, jalan masuk dan lain-lain sesuai kondisi lapangan. Sedangkan rancangan biaya memuat uraian rinci kebutuhan biaya per jenis pekerjaan dan jumlah biaya keseluruhan.

Waktu dan Tahapan Penyusunan Rancangan

Rancangan disusun pada tahun sebelum pelaksanaan. Biasanya diistilahkan dengan T-1, tetapi diberi juga kemungkinan untuk menyusunnya pada tahun berjalan atau T-0. tahapan penyususnan rancangannnya sebagai berikut:
  1. orientasi lapangan
  2. Penyiapan bahan dan rencana kerja
  3. Pengumpulan data bio fisik melalui pengamatan dan pengukuran lapangan
  4. Pengumpulan data sosial ekonomi melalui wawancara dan data sekunder
  5. Pengolahan dan analisa data
  6. Pengukuran kembali dan pemasangan patok batas
  7. Penyusunan nazca
  8. Penyusunan peta rancangan dan gambar rancangan
  
C.    Pelaksanaan GNRHL

Ada dua pola pelaksanaan GNRHL. Pola pertama adalah pelaksanaan secara swakelola dimana kegiatan ini dilakukan langsung oleh instansi pemerintahan didaerah. Dalam hal ini adalah dinas kehutanan. Pola ini berlangsung mulai tahun 2003 – 2006. rehabilitasi hutan dan lahan berdasarkan pola ini dapat dilakukan di dalam dan di luar kawasan hutan. Di dalam kawasan hutan dikenal dengan kegiatan reboisasi yang bisa dilakukan di kawasan lindung, konservasi dan produksi. Di luar kawasan hutan dilakukan program penghijauan melalui pembuatan hutan rakyat. Pembuatan hutan rakyat ini dilakukan dengan membentuk kelompok tani yang mempunyai lahan dengan luas minimal 25 ha. Pada pola ini ada jaminan kelompok tani yang menanam di jamin akan menjadi pihak yang berhak memanen hasil dari hutan rakyat tersebut. Lokasi pembangunan hutan rakyat ini dapat dilakukan pada tanah milik rakyat dan tanah adat  yang kurang cocok untuk pertanian tanaman pangan, sehingga secara ekonomis lebih menguntungkan untuk dikembangkan menjadi hutan rakyat. Terletak pada bagian hulu sungai dan perlu dihutankan baik karena sudah kritis maupun karena dibutuhkan pengaayaan atas tanaman ysng sudah ada. Tahapan pelaksanaan pembangunan hutan rakyat ini dimulai dengan pra kondisi melalui sosialisasi yang ditindaklanjuti dengan pembentukan kelembagaan kelompok dan kelembagaan usaha. Selanjutnya kegiatan didasrkan pada rencana teknis kegiatan.

Pola kedua adalah pola kerjasama dengan pihak ketiga melalui kontrak kerjasama dengan pihak ketiga yang berbadan hukum.. Jika pada pola pertama yang swakelola, kegiatannya tersebar didalam dan di luar kawasan hutan, sehingga memungkinkan dilakukan penghijauan melalui pengembagnan hutan rakyat, pola kontrak kerjasama dengan pihak ketiga yang berbadan hukum dikhususkan dilakukan di dalam kawasan hutan. Artinya kegiatan yang dilakukan adalah kegitan reboisasi baik pada hutan lindung, huatn konservasi maupun hutan produksi. Pola ini dikenal juga dengan pola tahun jamak atau multiyears (Tri handoyo, Kunto susilo, wawancara tanggal....). jika dilihat dari segi keterlibatan masyarakat, pola ini sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan pola swakelola untuk kegiatan reboisasi. Karena posisi kelompok masyarakat hanyaalah sebagai pekerja pada beberapa jenis pekerjaan seperti melobang, penanaman, pemeliharaan dan lain-lain. Masyarakat tidak akan bisa menjadi pemenfaat langsung adri tanaman reboisasi karena berlokasi di dalam kawasan hutan yang memang tidak diizinkan untuk memanfaatkan kayunya. Pemanfaatan hanya bisa untuk hasil hutan bukan kayu pada kawasan hutan yang berfungsi lindung. Itupun berdasarkan izin dari pemerintah.

Pola pelaksanaa kerjasama dengan pihak ke tiga yang berbadan hukum ini dimulai pada tahun 2007. Penerapaan pola ini didasarkan pada Peraturan Presiden No. 89 Tahun 2007. Dari penelusuran dokumen, tidak ditemukan alasan yang secara ekeplisit disebutkan sebagai penyebab perubahan pola swakelola menjadi pola pelaksanan berdasarkan kontrak kerja dengan pihak ketiga. Namun secara implisit, bisa dibaca alasan perubahan ini didasarkan pada keadaan dimana pembuatan tanaman reboisasi harus dilaksanakan secara berkelanjutan dalam kurun waktu tertentu, baik penyediaan bibit, penanaman dan pemeliharaannya sehinggga secara teknis tanaman dapat tumbuh sehat dan kuat serta mampu beradaptasi dengan alam sekitarnya: (Lampiran Permenhut No. P.22/Menhut-V/2007, hal 24). Alasan atau argumentasi ini dinilai cukup subtantif untuk tujuan diperolehnya komitmen dan kepasstian dukungan pendanaan dari APBN dalam tahun jamak. Tetapi alasan ini tidak cukup argumentatif untuk membenarkan perubahan pola menjadi kontra kerja kepada pihak ketiga. Karena aspek keberlanjutan dalam kurun waktu yang lebih panjang sebenarnya tetap bisa dipenuhi melalui pola pelaksanaan berdasarkan swakelola.

Menurut Tri Handoyo (Pegawai BPDAS Agam Kuantan) alasan pemilihan pola pelaksanaan melalui kontrak kerja dengan pihak ke tiga tersebut lebih disebabkan karena tanggungjawab atas kawasan hutan yang berada pada pemerintah pusat, keterbatasan SDM di Kabupaten / kota dibandingkan dengan luas dan jarak kawasan hutan yang menjadi lokasi GNRHL dan keterbatasan sumber tenaga kerja. Beberapa alasan ini sesungguhnya tetap terasa tidak logis, karena tanggungjawab pemerintah pusat bisa dilakukan oleh pemerintahan di daerah berdasarkan asas dekonsentrasi, sebagaimana pola swakelola. Keterbatasan sumber tenaga kerja juga masih sangat bisa diperdebatkan, mengingat perusahaan penerima kontrak juga akan merekrut tenaga kerja. Karena itu sangat mungkin ada alasan lain yang tidak diungkapkan, misalnya persoalan-persoalan seputar kelemahan kemampuan kelembagaan instansi teknis di daerah, karena beban-beban birokrasi yang dipikulnya.  

Sebenarnya Peraturan Presiden No. 89 Tahun 2007 sama sekali tidak menghapuskan pola swa kelola. Pola kontrak kerjasama dengan pihak ketiga hanya dilakukan terhadap kegiatan pembuatan tanaman di dalam kawasan hutan yang dibiayai dengan APBN dan APBD. Pelaksanaan dengan pola swakelola sebenarnya masih dimungkinkan. Misalnya pembuatan tanaman dalam kawasan hutan tertentu dengan mempertimbangkan kondisi keamanan dilakukan dengan swakelola melalui operasi bakti TNI (pasal 12 ayat 3). Pembuatan tanaman di luar kawasan hutan yang dibiayai dengan APBN dan APBD dilaksanakan dengan swakelola melalui surat perjanjian kerjasama dengan kelompok tani (Pasal 12 ayat 4). Namun sepertinya setelah keluarnya Perpres ini, kegitan GNRHL umumnya dilakukan di dalam kawasan hutan secara kontraktual dengan pihak ketiga. Setidaknya gambaran ini terlihat di Sumatera Barat, dimana sejak tahun 2007 tidak ada lagi kegiatan pembuatan hutan rakyat yang dikelola oleh kelompok tani. Alasan yang dikemukanan baik oleh BP DAS  maupun oleh Dinas kehutanan, kletentuan yang adalah kegiatan GNRHL hanya dilakukan di dalam kawasan hutan saja. Padahal perpres yang dimaksud sebagai ketentuan tersebut, sesungguhnya masih memberi ruang. Dalam konteks ini sebenarnya menarik untuk menelusuri lebih lanjut mengapa perpres tersebut diterapkan terbatas untuk melakukan kegiatan GNRHL di dalam kawasan hutan dengan pola yang kontraktual. Mengapa ketentuan dalam pasal 12 ayat (4) terkait dengan pembuatan hutan rakyat melalui kerjasama dengan kelompok tani tidak dilaksanakan

D.    Target RHL Pada GNRHL

Sepanjang kurun waktu 5 tahun pertama GNRHL (2003 – 2007) direncanakan akan merehabilitasi hutan dan lahan seluas 3 juta hektar. Jumlah luasan ini akan dicapai secara bertahap. Pada tahun 2003 ditargetkan merehabilitasi 300.000 ha. Pada tahun 2004 ditergetkan merehabilitasi 500.000 ha. Pada tahun 2005 ditargetkan merehabilitasi  600.000 ha. Pada tahun 2006 ditargetkan merehabilitasi 700.000 ha dan 900.000 ha pada tahun 2007. Untuk target tahun 2008 dan 2009 tidak berhasil ditemukan. Tapi jika menggunakan penambahan target tiap tahun sampai tahun 2007, sampai tahun 2009 sepertinya target rehabilitasi tidak akan melebihi luasan 1,5 juta ha.

Jika dibandingkan dengan laju angka kerusakan hutan yang berkisar antara 1,6 – 2 juta ha pertahun, target rehabilitasi ini terasa sangat jauh dari cukup. Sebab dengan hanya mengambil angka laju kerusakan hutan pertahun 1,6 juta ha, dan angka tersebut konstan sampai pada tahun 2009, maka dari tahun 2003 - 2009 luasan hutan dan lahan yang rusak sudah bertambah sebanyak 9,6 juta ha. Artinya total lahan kritis sudah akan melampaui angka 100 juta ha. Oleh program GNRHL luasan lahan kritis ini hanya akan bisa dikurangi 1,5 juta ha. Itupun dengan mengasumsikan seluruh target tersebut berhasil direalisasikan secara keseluruhanb. Jumlah yang tentunya sangat tidak signifikans.

7.1.1.            Program Kehutanan Untuk Mencegah Kerusakan Hutan Dan Lahan Di Sumatera Barat (GNRHL di Sumatera Barat)

Luas hutan Sumatera Barat 4.228.730 ha. Luasan ini terbagi kedalam Hutan Swaka Alam Wisata seluas 846.145, Hutan Lindung seluas 910.533, Hutan Produksi Terbatas seluas 247.385, Hutan Produksi Tetap seluas 434.568, Hutan Produksi Konversi 161.655 dan areal penggunaan Lain seluas 1.628.444. Tiga besar Kabupaten pemilik hutan produksi secara berturut-turut adalah Kabupaten kepulauan Mentawai, Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung (dhamasraya) dan Solok (Solok Selatan).

Pada tahun2003, tercatat ada 9 perusahaan yang mengantongi IUPHHK dengan total luas lahan yang diusahakan sebesar 397.667. Kesembilan preusan tersebut hádala PT. Minas Pagai lumber (83.330 ha), PT Simber Surya Semesta (79.000 ha), PT. Duta Maju Timber (47.000 ha), PT. Andalas Merapi Timber (28.840 ha), PT. Bhara Union (33.700 ha), Koperasi Andalas Madani (49.650ha), PT. Bukit Raya Mudisa (28.617 ha), PT. Inhutani IV (40.855 ha) dan PT. Rimba Swasembada Semesta (6.675 ha) (statistik kehutanan Sumatera Barat,2003)

Selain 9 perusahaan tersebut yang memanfaatkan hutan alam di dalam kawasan hutan produksi, dalam tahun 2003 beberapa kabupaten/kota di Sumatera Barat juga mengeluarkan perizinan dibidang kehutanan hasil hutan kayu. Kabupaten Pesisir Selatan mengeluarkan 3 izin IPKTM dengan luas lahan 49,6 ha. Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung mengeluarkan 3 izin IPK lepada Primkoppol Resort Sawahlunto/Sijunjung dengan total luas 1.650 ha. Kabupaten Solok mengeluarkan izan IPK kepada KSU Tanjung Balit Sumiso seluas 530 ha. Kabupaten 50 kota mengeluarkan izin IPHHK lepada CV. Sinar Asia seluas 500 ha. Kabupaten Pasaman mengeluarkan 5 izin IPKR dan 1 izin pemenfaatan limbah kayu dengan luas lahan 2.791. Kabupaten Kepulauan Mentawai mengeluarkan 12 izin IPK dengan luas total lahan 12.861 ha. Dari izan-izin IPK ini setidaknya dalam periode satu tahun, 18.381 ha lahan di luar kawasan hutan akan mengalami deforestasi dan degradasi. Pada periode yang sama tercatat 10.042 SKSHH telah dikeluarkan oleh kabupaten/kota. Kabupaten Kepulauan Mentawai dan Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung merupakan kabupaten yang paling banyak mengeluarkan SKSHH (Statistik Kehutanan sumatera Barat,2003)

Dalam prakteknya izan-izin IPK selalu menjadi alat legal untuk merusak hutan dan tutupan lahan. Beberapa pemegang IPK bisa memperoleh izin, tanpa ada harus ada  izin jenis usaha yang mau dikembangkan di lokasi yang di land clearing.  

Jika dibagi kedalam DAS, wilayah hutan Sumatera Barat terbagi kedalam 30 DAS, yaitu DAS Air Bangis, Batahan, Sikarbau, Sikilang, Pasaman, Rokan, Kinali, Masang, Kampar, Antokan, Gasan Gadang, Kinara, manggung, anai, Arau, Tarusan, Bayang, lumpo, painan, Taratak, surantih, Kambang, lakitan, Palapah, Air Haji, Indra Pura, Silaut, Batang Kuantan, Batang hari dan Mentawai: (Rencana Kegiatan Hutan dan Lahan DAS Agam Kuantan, 2003). Dari 30 DAS itu, DAS Rokan merupakan DAS terluas.

Pada saat GNRHL dimulai pada tahun 2003, di Sumatera Barat terdapat lahan kritis seluas 214.580 ha: (Rencana Kegiatan Hutan dan Lahan DAS Agam Kuantan, 2003). Sebanyak 77.090 ha terdapat di dalam kawasan hutan dan 137.490 ha berada di luar kawasan hutan. Dari 43 DAS yang ada, DAS Batang Kuantan merupakan DAS dengan luasan lahan kritis terluas, yaitu sebesar 87.760 ha.

Jika dilihat angka luasan yang ada, luas lahan kritis di Sumatera Barat lebih banyak terdapat di luar kawasan hutan. Tidak diperoleh data yang dapat mengkonfirmasi apakah lahan-lahan kritis diluar kawasan hutan tersebut berada pada daerah-daerah hulu DAS, yang kalau berada di daerah hulu-hulu DAS, semestinya luasan rencana GNRHL lebih banyak dilakukan di luar kawasan hutan dengan membangun hutan rakyat.

Target RHL Sumatera Barat dalam GNRHL

Sampai tahun 2007/2008, melalui GNRHL direncanakan seluas 74.736 ha hutan dan lahan di Sumatera Barat akan terrehabilitasi. Jumlah luasan tersebut akan tersebar sebanyak 39.054 ha di dalam kawasan hutan dan 35.682 ha di luar kawasan hutan. Yang diluar kawasan hutan meliputi hutan rakyat yang direncanakan akan terbangun sebanyak 34.612 ha, hutan kota seluas 325 ha, hutan mangrove seluas 270 ha, Green Belt seluas 250 ha Model TUL seluas 25 ha dan hutan pantai seluas 200 ha. Jumlah hutan dan lahan terrehabilitasi seluas 74.736 tersebut secara bertahap direncanakan akan dicapai pada tahun I seluas 29.401 ha (39,3%), tahun II seluas 10.000 ha (13,38%), tahun III seluas 11.250 ha (15,05%), tahun IV seluas 1.450 ha (1,94%) dan tahun IV seluas 22.635 ha (30,28%).  Sebaran luasan target GNRHL per Kabupaten/Kota diperlihatkan oleh tabel berikut:

No
Kabupaten/Kota
Luas (ha)
1
Agam
8.615
2
Limapuluh Kota
11.955
3
Padang pariaman
3.840
4
Pasaman
4.655
5
Sawahlunto/Sijunjung
6.325
6
Solok
11.425
7
Tanah Datar
7.668
8
Pesisir Selatan
2.830
9
Solok Selatan
2.180
10
Pasaman Barat
1.455
11
Dhamasraya
850
12
Padang
1.810
13
Bukittinggi
140
14
Payakumbuh
1.050
15
Pariaman
370
16
Padang Panjang
155
17
Sawahlunto
2.740
18
Solok
972
Diolah dari data rencana dan realisasi pembuatan tanaman GNRHL Propinsi Sumatera Barat

Tabel sebaran tersebut memperlihatkan target tertinggi GNRHL adalah Kabupaten 50 Kota dan Kabupaten Solok. Luas lahan kritis terluas memang terdapat di dua Kabupaten ini. Mungkin itu yang menyebabkan mengapa di dua kabupaten ini dipasang target GNRHL terbesar. Alasan ini juga tentu sinergis dengan posisi dua kabupaten ini yang terletak di bagian hulu DAS besar. Berikut adalah data lahan kritis Sumatera Barat.


Kab/Kota
Kawasan Hutan
Dalam (ha)
Luar (ha)
Jumlah (ha)
Pasaman
8,260
7,750
16,010
Agam
7,410
7,190
14,600
50 Kota
11,980
24,670
36,650
Tanah Datar
11,120
9,090
20,210
Solok
20,090
24,720
44,810
Sawahlunto/Sijunjung
7,710
33,920
41,630
Padang Pariaman
2,210
12,950
15,160
Padang
3,090
5,400
8,490
Pesisir Selatan
5,220
11,800
17,020
Jumlah
77,090
137,490
214,580
Sumber: diolah dari data Dinas Kehutanan prop. Sumatera Barat

Target luasan hutan dan lahan terehabilitasi ini sebenarnya tidak signifikan untuk memulihkan luasan hutan dan lahan kritis. Karena hanya akan merehabilitasi 34,8% dari  214.580 ha hutan dan lahan kritis.  Artinya seluas 139.844 ha hutan lahan akan tetap kritis. Ini belum mempertimbangkan kemungkinan penambahan luasan hutan dan lahan kritis, karena laju kerusakan hutan dan lahan setiap tahunnya di wilayah propinsi Sumatera Barat yang angkanya. 

Tingkat keberhasilan realisasi GNRHL ternyata hanya sebesar 74,9%. Tingkat realisasi tertinggi berada pada kegiatan reboisasi (GNRHL di dalam kawasan hutan) yang mencapai 87%. Sedangkan relisasi keberhasilan penghijauan (GNRHL di luar kawasan hutan) hanya 61,03%.  Realisasi pembuatan hutan rakyat juga hanya 61,12%.

Dalam Kawasan Hutan
Luar Kawasan Hutan
Hutan rakyat

Rencana
Realisasi
%
Rencana
Realisasi
%
Rencana
Realisasi
%
39.054
34.294
87%
35.682
21.777
61,03
34.612
21.157
6112%
Sumber: diolah dari data realisasi GNRHL BP DAS

Ada dua hal yang diperlihatkan oleh tabel diatas. Yang pertama adalah meskipun luasan lahan kritis di luar kawasan hutan lebih besar dibandingkan dengan luas lahan kritis di dalam kawasan hutan, BP DAS lebih memilih untuk megutamakan kegiatan penghutanan kembali di dalam kawasan hutan. Karena target reboisasi di dalam kawasan hutan mengcover setengah dari luas kawasan hutan yang kritis. Sedangkan target penghijauan diluar kawasan hutan hanya berkisar ¼ dari luas lahan kritis di luar kawasan hutan.

Tabel ini juga memperlihatkan realisasi pencapaian target lebih tinggi pada kegiatan reboisasi di dalam kawasan hutan, yaitu mencapai 87%. Sedangkan realisasi penghijauan di luar kawasan hutan hanya 61,03%. Jika ukuran keberhasilan GNRHL harus mencapai 75%, maka bisa disebutkan kegiatan GNRHL diluar kawasan hutan tidak berhasil.

Jika melihat perbandingan angka tersebut, bisa disebutkan ada kecendrungan BP DAS lebih mengutamakan melakukan kegiatan reboisasi di dalam kawasan hutan, ketimbang melakukan pembangunan hutan rakyat dan penghijauan lainnya di luar kawasan hutan, yang secara statistik luasnya lebih besar. Sayangnya tidak ditemukan penjelasan yang bisa menerangkan mengapa hal tersebut terjadi. Juga tidak ditemukan alasan-alasan mengapa tingkat realisasi reboisasi kawasan hutan lebih tinggi jika dibandingkan dengan kegiatan penghijauan di luar kawasan hutan. Mungkinkah ada perbedaan keseriusan pelaksanaan antara reboisasi dengan pembuatan hutan rakyat.

Jika dibandingkan dengan tingkat realisasi yang sebesar 56.026 atau 74,9% dari rencana, maka pada akhir tahun V (2007/2008), masih akan tersisa hutan dan lahan kritis seluas 158.554 ha atau sebesar 73,9% dari total lahan kritis pada saat GNRHL dimulai. Jumlah luasan ini masih sangat mungkin bertambah, mengingat pada saat yang bersamaan dengan pelaksanaan GNRHL, tidak bisa dikesampingkan kemungkinan terjadinya pengrusakan yang mengakibatkan kerusakan hutan, yang angkanya bisa jadi lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan realisasi GNRHL merehabilitasi hutan dan lahan setiap tahunnya.  

7.1.2.            Program Kehutanan Untuk Mencegah Kerusakan Hutan Dan Lahan Di Solok Selatan (GNRHL di Solok Selatan)

Program kehutanan di solok selatan untuk mencegah kerusakan hutan dan lahan di solok selatan adalah program aforestasi, berupa reboisasi hutan. Lokasi reboisasi di Kabupaten Solok Selatan yang dilakukan / bekerjasama dengan pihak swasta terletak di Jorong Bancah, Nagari Pakan Rabaa Tengah, Kecamatan Koto Parit Gadang Diateh. Nagari Pakan Rabaa Tengah mempunyai luas 151,80 ha. Letak Nagari ini dari ibu kota kecamatan sekitar 2,5 km, dari ibukota kabupaten berjarak 44 km, dari ibukota propinsi berjarak 126 km.

Secara adminstrasi Nagari Pakan Rabaa Tengah sebelah utara berbatasan dengan Pakan Rabaa Utara, sebelah selatan berbatasan dengan pakan rabaa barat, sebelah barat berbatasan dengan taman nasional kerinci seblat dan sebelah timur berbatasan dengan pakan rabaa timur. Nagari ini terdiri dari 4 jorong yaitu Jorong Bancah, Batang Lalo, Batang Lampaung dan Balun.

Pelaksanaan kegiatan GNRHL yang dilaksanakan di Kabupaten Solok Selatan yang kerjasama dengan pihak ketiga (swasta) merupakan tanggungjawab dari BP DAS Agam Kuantan. Berbeda dengan kegiatan GNRHL yang dilakukan oleh swakelola, kegiatan yang melalui pihak ketiga ini proses pelaksanaannya dilakukan dengan membuka tender yang dilakukan oleh BP DAS.

Untuk pelaksanaan kegiatan reboisasi ini, mulai dari pembibitan, penanaman, dan pemeliharaan tanamannya merupakan tanggungjawab penuh dari pihak ketiga, akan tetapi untuk tenaga kerja tetap melibatkan masyarakat setempat. Pada tahun 2007, CV Sumber Surya Belantara mendapatkan proyek reboisasi dari BP DAS Agam Kuantan. Penentuan pihak pihak ketiga yang akan melaksanakan proyek reboisasi ini berdasarkan penilaian oleh BP DAS Agam Kuantan dengan melihat kemampuan dari pihak ketiga dalam mengelola proyek reboisasi ini.

Dalam perencanaan, BP DAS melakukan survey terhadap lokasi yang akan dijadikan tempat kegiatan reboisasi. Pemilihan lokasi berdasarkan kondisi biofisik dan sosial ekonomi. Salah satu alasan dari BP DAS Agam Kuantan untuk menetapkan Nagari Pakan Rabaa Tengah untuk lokasi reboisasi adalah masyarakat yang telah lama mendiami lokasi, memiliki pengetahuan dan kearifan lokal yang bersifat turun temurun dan dinamis, sehingga telah akrab serta memiliki kesadaran yang cukup tinggi akan arti pentingnya reboisasi dimana hal itu akan berdampak baik pada waktu sosialisasi dan pelaksanaan kegiatan fisik dilapangan.

Sebelum pelaksanaan kegiatan reboisasi ini dimulai, pihak ketiga sudah harus menyiapkan pondok kerja yang nantinya akan digunakan sebagai tempat ruang pertemuan dan gudang untuk penyimpanan bibit pohon yang akan ditanam. Selain penyiapan pondok kerja, pihak ketiga diminta untuk membuat perencanaan kerja dan kebutuhan biaya dalam pelaksanaan reboisasi.





Adapun tahapan dalam kegiatan reboisasi oleh pihak ketiga, bisa dilihat dari diagram dibawah ini :



 














 






Kendala yang dihadapi oleh pihak ketiga dalam pelaksanaan reboisasi ini adalah keterlambatan dalam pencairan dana dan sulitnya untuk mendapatkan tenaga kerja dari masyarakat untuk melaksanakan kegiatan reboisasi ini. Dan tidak semua pihak ketiga yang memiliki pengalaman dalam melakukan reboisasi.

7.2.            Kebijakan REDD di Indonesia
Belum lagi program reboisasi dan GNRHL tuntas di evaluasi dalam mengatasi persoalan kerusakan hutan di indonesia pada umumnya, dan propinsi sumbar dan kabupaten solok selatan pada khususnya, pemerintah juga merancang sebuah kebijakan untuk mengatasi kerusakan hutan indonesia melalui program REDD.  Seperti yang disebutkan sebelumnya, bahwa REDD merupakan skema internasional dalam mitigasi perubahan iklim yang kemudian di integrasikan pada kebijakan kehutanan oleh pemerintah indonesia sebagai bagian dari keterlibatan indonesia terhadap mitigasi perubahan iklim tersebut.

Pembahasan pada sub bahasan ini, yaitu seputar telaah hukum implementasi skema REDD dalam kebijakan kehutanan di Indonesia. Berikut digambarkan alur implementasi skema REDD dalam  hukum indonesia, di bawah ini ;   

Skema Status Hukum REDD di Indonesia ;



Terdapat dua permenhut yang relevan terhadap kebijakan implementasi skema REDD, yaitu ;

A.    Permenhut No. 68 / Menhut – II / 2008 Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon Dari Deforestasi dan Degradasi Hutan

Ada catatan kritis terhadap kebijakan ini, yaitu pertama, secara konseptual permenhut ini bukan conditionally tapi readiness karena isinya menguji metodologi, teknologi, dan institusi pengelolaan hutan dalam konteks REDD.[23] Permen ini seolah melihat pengelolaan kehutanan dalam keadaan yang nirkonflik sehingga uji coba metodologi, teknologi dan institusi hanya mempertimbangkan status dan lokasi, berikut peta lokasi, calon areal, bentuk dan jangka waktu kerja sama, perkiraan nilai kegiatan manajemen resiko dan rencana alokasi distribusi pendapatan; sama sekali tidak mempertimbangkan hak ulayat masyarakat adat.[24]
Kedua, sebagai konsekuensi dari konsep readiness maka permenhut ini tidak mengadopsi prinsip free, prior, informed, consent (FPIC). Permenhut ini tidak mencantumkan hak ulayat masyarakat (masyarakat adat) untuk mengetahui informasi mengenai demonstrative activities dan menentukan sikap mereka atas kegiatan tersebut. Pola pengambilan keputusan dalam permenhut ini masih bersifat top down, yaitu terlihat dalam satu aturannya yang menyebutkan;

“ berdasarkan hasil penilaian kelompok kerja pengendalian perubahan iklim di lingkungan departemen kehutanan, menteri dapat menyetujui, atau menyetujui dengan syarat, atau menolak pemohonan pemrakarsa.”

Dari pasal diatas terlihat bahwa, masyarakat (masyarakat adat) di lokasi proyek hanya ditempatkan sebagai objek yang menerima sejumlah kompensasi tanpa mengetahui pertimbangan-pertimbangan yang kompleks di balik kompensasi tersebut.[25]

Ketiga, salah satu misi REDD adalah memberikan benefit terhadap masyarakat penjaga hutan. Tetapi dalam permenhut ini perhitungan benefit ditentukan oleh pemrakarsa proyek. Dari pengalaman pengelolaan hutan yang selama ini terjadi; pengambilan keputusan yang bersifat top – down, maka masyarakat sulit mendapatkan benefit dari proyek tersebut dan kalaupun di bagi, selalu ada persoalan distribusi seperti ; korupsi, salah sasaran, dan lain-lain. [26]

B.     Permenhut No. 30 Tahun 2009 Tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan

B.1. Substansi Pengaturan

Substansi permenhut ini tidak mempertimbangkan hak masyarakat, terutama masyarakat adat di dalam dan sekitar lokasi proyek namun hanya memperhitungkan benefit - sharing antara entitas nasional dengan internasional. Perhitungan benefit – sharing tidak sama dengan penghitungan hak atas sumber daya alam. Hak berhubungan dengan kategori kepemilikan yang umumnya tidak terbatas, sedangkan benefit – sharing bersifat temporer dan sewaktu-waktu dapat dicabut.

Adapun Entitas nasional sebagai penerima benefit - sharing di tujukan pada pihak-pihak yang memiliki surat keputusan, sertifikat maupun surat keterangan oleh menteri kehutanan dan pemerintah daerah mengenai penguasaan resmi berdasarkan pengakuan negara. Misalnya; SK IUPHHK, SK menteri kehutanan tentang penunjukan atau penetapan hutan konservasi, SK pembentukan kesatuan pemangku hutan, SK menteri terhadap pengelolaan hutan adat dan lain-lain. Bagi masyarakat adat / lokal yang tidak masuk dalam entitas ini akan dimasukkan kedalam kalkulasi manfaat ekonomi. Kalkulasi itu ditujukan bagi pengentasan kemiskinan yang harus tercantum oleh para pelaku proyek REDD. [27]

B.2. Lokasi Proyek
Lokasi proyek REDD dalam permenhut ini adalah semua kawasan hutan (hutan negara dan hutan hak). Asumsi hukumnya jelas, bahwa status kawasan hutan negara dianggap sudah jelas. Hal tersebut di perkuat dalam lampiran (2) permenhut ini tentang kriteria pemilihan lokasi REDD. Di sana tidak menyinggung sedikitpun kepastian status hukum dari lokasi proyek, apakah sudah ditetapkan atau masih dalam status penunjukkan. Padahal penunjukkan dan penetapan merupakan istilah hukum yang memiliki konsekuensi huum yang berbeda. Penunjukkan belum memiliki status hukum yang jelas, sehingga negara perlu melengkapinya dengan sejumlah tahapan lain seperti penentuan tata-batas, ketelibatan masyarakat, dan berbagai proses lain sebelum masuk dalam tahapan penetapan kawasan hutan (pasal 15 UUK).[28]

B.3. Skema Proyek

a.      Baseline / referensi emisi
Permenhut ini mengacu pada referensi berbasis sejarah emisi (historical base line) dan proyeksi emisi (projected baseline). Sedangkan baseline yang lebih jelas dan terperinci akan ditetapkan oleh Dirjen Planologi Dephut. Sebagai referensi; Bali Action Plan menegasan agar skema REDD harus mempertimbangkan metodologi yang menyangkut measurable, reportable, verifiable (MRV). Permenhut ini menyebutkan jangka waktu proyek REDD paling lama 30 tahun dan dapat di perpanjang. Tetapi, jangka waktu tersebut tidak memiliki hubungan tertentu dengan level referensi atau baseline, sehingga jangka waktu ini tidak memiliki hubungan dengan projected baseline yang akan tersusun.

b.      Skema Permohonan





Pemohon
(individu, kolektif, badan hukum)
(90 hari setelah persetujuan sudah dilaksanakan)
 


 









           





Untuk mengajukan proyek REDD, persyaratan –persyaratan untuk masing-masing kawasan hutan sudah tercantum dalam permenhut ini. Dokumen-dokumen untu melengkapi persyaratan di sediakan oleh pemohon berdasarkan data dan proses. Dalam kontes itu, data benar-benar bisa dihandalkan. Oleh sebab itu, untuk menjamin objektifitas ilmiah, dokumen yang sangat ketat dengan fakta dan data di suatu lokasi tertentu mesti diperiksa secara empirik lewat suatu metode uji yang terukur dan dapat dipercaya. Dalam skema permohonan ini, komisi REDD juga bisa menggali keberatan, penolakan, persetujuan, dan alasan-alasan masyarakat setempat dan berbagai pihak mengenai proyek REDD yang di usulkan. Data pemabnding dari komisi REDD akan menjadi kekuatan utama untuk menilai apakah usulan pemohon bisa diterima atau tidak.[29]

c.       Monitoring

Dalam hal monitoring pengawasan proyek REDD dalam permenhut ini dilakukan oleh Lembaga Penilai Independen (LPI) yang akan melakukan verivikasi atas proyek REDD. Dalam proses verivikasi tersebut, biaya yang dikeluarkan dalam proses verivikasi oleh LPI di tanggung oleh pelaku REDD. Hal tersebut mengakibatkan lemahnya objektifitas yang dilakukan oleh LPI. Selain itu, LPI hanya bertugas dalam hal verivikasi saja sedangkan proses monitoring selanjutnya akan dilakukan oleh pelaku REDD, pemerintah daerah dan Departemen Kehutanan sehingga sebenarnya tidak ada lembaga monotoring independen tersebut yang memantau proses implementasi proyek.[30]

B.4. Persoalan Koordinasi Antar Lembaga.

Dalam skema REDD disebutkan banyak lembaga yang terlibat, seperti ; [31]
a.       lembaga registrasi nasional, yang memiliki peran melakukan pencatatan atas semua kegiatan REDD. Lembaga ini tidak dijelaskan posisinya secara struktural, apakah berada dalam lingkungan Departemen Kehutanan atau lembaga yang terpisah
b.      komite akreditasi nasional, yang bertugas mengakreditasi LPI sebelum ada suatu keputusan yang implementatif dari UNFCCC paska 2012. posisi lembaga ini pun belum jelas, apakah dalam lingkungan Departemen Kehutanan atau di luar.
c.       Focal Point, yaitu delegasi RI dalam perundingan. Koordinasi antara focal point dengan Depatemen Kehutanan dilakukan lewat Komisi REDD. Komisi REDD sendiri punya tiga peran yaitu : (1) menilai permohonan proyek REDD, (2) mengeluarkan sertifikat , (3) melaporkan pelaksanaan REDD ke Focal point dan Menhut. Namun, ketentuan tersebut tidak meyebut hubungan koordinatif yang sifatnya opreasional antara menhut dengan berbagai departemen atau lembaga negara lainnya yang memiliki peran penting dalam mengatasi perubahan iklim.

8.         Kesimpulan Dan Rekomendasi
8.1.            Kesimpulan
1.      Dalam berbagai peraturan perundangan-undangan terdapat pengaturan perlindungan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat atas sumber daya alamnya (hak ulayat) yang dimulai dari UUD 1945, UU dan Peraturan Daerah. UUPA sebagai UU payung pengaturan agraria / sumber daya alam di Indonesia mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat namun kemudian di distorsi oleh UUK dalam pengaturan hak ulayat di kawasan hutan (hutan adat).

2.      Inisiatif pengakuan dan perlindungan hak ulayat masyarakat adat terjadi dalam kebijakan daerah. Dalam konteks provinsi sumatera barat / kabupaten solok selatan yaitu dengan melahirkan perda nagari dan tanah ulayat sebagai peraturan yang mencoba merekonstruksi entitas nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dalam kerangka NKRI yang kemudian memiliki hak ulayat sebagai bagian dari hak asal usulnya. Inisiatif-inisiatif daerah tersebut kemudian tumpang tindih dan terdistorsi oleh kebijakan operasional kehutanan sehingga meminggirkan hak ulayat masyarakat adat (hutan adat) dikawasan hutan.

3.      Kebijakan kehutanan dalam konteks program-program pencegahan kerusakan hutan berupa GNRHL dan REDD mengikuti persoalan-persoalan dalam kebijakan kehutanan diatas sehingga berimplikasi negatif terhadap hak ulayat masyarakat adat pada khususnya dan hak-hak masyarakat adat lainnya. Hal tersebut muncul karena :
a.       Implementasi program-program kehutanan dilaksanakan di hutan negara dan hutan hak yang rabun memperhatikan persoalan tumpang tindih penguasaan hutan antara negara dan atau sektor swasta dengan masyarakat adat (hutan adat).
b.      Program-program kehutanan tersebut di rancang dan di implementasikan secara top – down (sentralistik) dan minim keterlibatan masyarakat adat. Hal tersebut tersebut terlihat dari proses perencanaan sampai dengan pelaksanaannya yang terpusat. Dalam konteks pelaksanaan misalnya, pola yang digunakan adalah ; (1) GNRHL di kawasan hutan dilaksanakan oleh pihak ketiga (swasta) atas izin Departemen Kehutanan (BKSDA) yang berakibat pada keterlibatan masyarakat adat hanya pada perekrutan tenaga kerja, sedangkan masyarakat adat sebagai pelaku GNRHL terbatas pada skala kecil dan diluar kawasan hutan yang tidak di dukung penuh pemerintah (2) Dalam konteks REDD; masyarakat adat di samakan entitasnya dengan pelaku lain (pihak swasta), sehingga secara kapabilitas masyarakat adat lebih lemah di bandingkan entitas lain pelaku REDD sehingga peluang masyarakat adat dalam akses terhadap REDD lemah. Hal-hal itu berakibat pada tidak diterapkannya Free, Prior, Informed, Consent (FPIC), baik pada program GNRHL maupun REDD sehingga masyarakat adat tidak mempunyai kuasa untuk menerima informasi berimbang dan atau menentukan pilihan menerima atau menolak program-program tersebut.
c.       Program GNRHL dan REDD tidak menyentuh persoalan pengrusakan hutan oleh industri kehutanan besar yang mempunyai kuasa (konsesi) terhadap hutan.
d.      Baik itu GNRHL maupun REDD tidak mengakomodasi pola pengelolaan hutan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat adat.

4.      Persoalan tumpang tindih antar lembaga negara pelaksana program REDD, maupun tumpang tindih antara pemerintah pusat dengan daerah pada program GNRHL menimbulkan ketidakjelasan akuntabilitas dan koordinasi implementasi program-program tersebut sehingga manfaat terhadap masyarakat adat di khawatirkan tidak di distribusikan dengan adil dan juga berakibat pada gagalnya program-program tersebut dalam mencegah kerusakan hutan di indonesia pada umumnya dan solok selatan pada khususnya.

5.      Isu pemanasan global yang kemudian diterjemahkan secara sempit sebatas peran hutan dalam skema REDD berakibat pada persoalan-persoalan serius bagi penguasaan masyarakat adat atas hutan di solok selatan. Walaupun masyarakat adat mempunyai peluang sebagai entitas pelaku REDD namun pelaku lain yang lebih kuat seperti industri kehutanan mempunyai peluang yang sama sebagai entitas pelaku REDD, sehingga skema ini tidak berpangaruh signifikan bagi masyarakat adat dalam menguatkan penguasaannya terhadap hutan.  

8.2.            Rekomendasi

1.      kebijakan desentralisasi sistem pemerintahan yang dalam konteks sumatera barat / kabupaten solok selatan melalui perda nagari dan perda tanah ulayat telah membuka ruang ekspresi dan penguatan hak ulayat masyarakat adat terhadap hutan. Hal ini menjadi peluang atas keputusan-keputusan politik di level pemerintah daerah (kabupaten solok selatan) untuk memperkuat entitas masyarakat adat (nagari) dan legalitas hutan adat serta pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal.
2.      keputusan-keputusan politik daerah diatas dapat membuka ruang dalam kebijakan kehutanan untuk memperkuat hutan adat dengan mengintensifkan proses negosiasi antara pemerintah daerah yang mewakili masyarakat adat dengan pemerintah pusat (departemen kehutanan) sebagai pemegang kuasa atas hutan.
3.      Dalam program REDD yang akan segera diimplementasikan itu dapat menjadi peluang masyarakat adat memperkuat hutan adat dengan dukungan keputusan-keputusan politik di tingkat daerah sehingga pelestarian hutan sekaligus benefit yang didapatkan oleh masyarakat adat dapat dipenuhi.  
4.      memperkuat pola pengelolaan hutan berdasarkan kearifan lokal dan hukum adat perlu di kembangkan secara praktis sehari-hari oleh masyarakat adat untuk memperkuat effective occupation masyarakat adat atas hutan.















9.      Kepustakaan
Adiwinata, Adi, Murniati, Lukas Rumboko, (eds). 2008. Rehabilitasi Hutan Di Indonesia: akan kemanakah arahnya setelah lebih dari tiga dasawarsa. Bogor: CIFOR.
Bennet, Christ (2000). Establishing Community-Based Reduced-Impact Logging Partnerships with Concessions in the Buffer Zone of Kerinci Seblat National Park: Phase I. Observations from the Field. Daraft for KS-ICDP.
BP DAS Agam Kuantan, Departemen Kutanan RI. 2004, Rencana Teknik Tahunan GN-RHL tahun 2005”. Padang: BP DAS Agam Kuantan.
Bernadinus Steni, 2009, Pemanasan Global : Respon Pemerintah & Dampaknya Terhadap Hak Masyarakat Adat, HuMa
Chambers, Robert. 1987. Pembangunan Desa Mulai dari Belakang. LP3ES: Jakarta.
Departemen Kehutanan RI. 2007. Evaluasi Manfaat dan Dampak Kegiatan GN-RHL di Wilayah Balai Pengelolaan DAS Agam Kuantan.
Dove. Michael R. (Ed.) 1988. Sistem Perladangan di Indonesia. UGM Press: Jogjakarta.
Dunn, William N. 1999. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Terjemahan. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
Geertz, Clifford. 1976 (1963). Involusi Pertanian Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Bhratara KA.: Jakarta.
Indrizal, Edi., Afrizal, Erwin, Aisman dan Andi Noviriyanti. 2006. Studi Penyusunan Rekomendasi Teknis Pembangunan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa di Sekitar Hutan Tesso Nilo. WWF Riau Conservation Program: Pekanbaru.
Indrizal, Edi dan M. Ridwansyah. 2002. “Beberapa Isu Sosial-Ekonomi Berkaitan dengan Usulan Repatriasi Sebagian Kawasan HPH PT. Serestra II ke dalam Taman Nasional Kerinci Seblat” dalam Jurnal MANAJEMEN DAN PEMBANGUNAN Vol.1 No.1 Januari-Juni 2002. Jambi:  Fakultas Ekonomi Universitas Jambi.
Indrizal, Edi. 2006. “Masalah Pembangunan Perdesaan di Sekitar Areal HPH Berbatasan TNKS” dalam Alfan Miko dan Jendrius (Ed.). Peranan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pembangunan dan Perubahan Sosial. Padang: Andalas University Press.
Kadariah, Liem Karlina. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia: Jakarta.
Kompas. “Langgar HAM, Perampasan Hak Masyarakat Adat”, Edisi Selasa, 25 September 2001; h. 7. Jakarta.
Kansri Boonprakrob, Ph.D, 2006, crisis or opportunity, Climate chance and Thailand, www.greenpeace
Makalah REDD dan Peluang Penerapanya di Sumatera Barat, pada semiloka : REDD dalam perdebatan : “ upaya memahami REDD melalui meso debate serta prinsip keberadilan dan efisiensi,”  disampaikan kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat, hotel Inna Muara, Padang, 11-12 Maret 2010
Mayer, Robert R. Dan Greenwood E. 1980. Rancangan Penelitian Kebijakan Sosial. Pustekkom Dikbud dan CV. Rajawali untuk ECD Project (USAID): Jakarta.
Nur Hidayat. 2003. Bahan Masukan Gerakan Rehabilitasi Huitan dan Lahan (GN-RHL)
Rikardo Simarmata “Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat Di Indonesia”, UNDP, Jakarta, 2006,
Sardjono, M. Agung. 2004. Mosaik Sosiologis Kehutanan: Masyarakat Lokal, Politik dan Kelestarian Sumberdaya. Debut Press: Jogjakarta.
Uphoff, Norman. 1988. “Menyesuaikan Proyek pada Manusia” dalam Michael M. Cernea (Ed.). Mengutamakan Manusia di dalam Pembangunan. Publikasi Bank Dunia. UI Press: Jakarta.

Bahan hukum skunder :
1)      UU Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim)
2)      Undang Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Protokol Kyoto Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Perubahan Iklim)
3)      Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan
4)      Peraturan Presiden No 46 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim
5)      Peraturan Menteri Kehutanan  Nomor : P. 68/Menhut-II/2008 Tentang  Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon Dari Deforestasi Dan Degradasi Hutan
6)      Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.30/Menhut-II/2009 Tentang Tata Cara Pengurangan Emisi Dari Deforestasi Dan Degradasi Hutan (Redd)
7)      Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 36/Menhut-II/2009 Tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan Dan/Atau Penyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi Dan Hutan Lindung




[7] I Nyoman Nurjaya, (2008), Hukum Pengelolaan Hutan di Indonesia dalam Perspektif Sejarah dalam Pengelolaan sumber daya hutan, dalam perspektif antropologi hukum, prestasi pustaka publisher, jakarta, hal 214
[8] Kansri Boonprakrob, Ph.D, 2006, crisis or opportunity, Climate chance and Thailand, www.greenpeace.or.id
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Bernadinus Steni, 2009, Pemanasan Global : Respon Pemerintah & Dampaknya Terhadap Hak Masyarakat Adat, HuMa, Jakarta.
[12] Kansri Boonprakrob, Ph.D,Op.Cit.
[13] Bernadinus Steni, Op.Cit.
[14] Ibid
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Ibid
[18] Makalah REDD dan Peluang Penerapanya di Sumatera Barat, pada semiloka : REDD dalam perdebatan : “ upaya memahami REDD melalui meso debate serta prinsip keberadilan dan efisiensi,”  disampaikan kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat, hotel Inna Muara, Padang, 11-12 Maret 2010.
[19] Bernardinus Steni, Op Cit,
[20] Ibid
[21] Rikardo Simarmata “Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat Di Indonesia”, UNDP, Jakarta, 2006, hal. 152
[22] Ibid. hal. 153
[23] Bernarditus Steny, Op Cit.
[24] Ibid
[25] Ibid
[26] Ibid
[27] Ibid
[28] Ibid
[29] Ibid
[30] Ibid
[31] Ibid

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar